Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Membantu pemerintah ditafsirkan pragmatis yakni menjadi bagian dari pemerintah. Walau sekadar jabatan periperi. Itulah pandangan mantan Calon Presiden “gagah” pesaing Jokowi yang bernama Prabowo Subianto.
Menjadi “oposisi” atau “penyeimbang”—bahasa halusnya—dianggap bukan membantu. Mestinya Prabowo Subianto paham bahwa tolong menolong itu dalam kebaikan, bukan kebobrokan atau kezaliman. Ketika mahasiswa dan pelajar berjuang keras hingga nyawa di antaranya melayang, Prabowo bungkam dan sibuk dengan “posisi diri” dan “partainya sendiri”. Tak ada pembelaan terhadap patriot muda bangsa ini.
Tak ada lagi “jagoan rakyat”. Pilpres selesai dan bendera putih demokrasi dikibarkan oleh sang tokoh. Pertemuan Lebak Bulus dan di Istana berjalan mulus. Sebentar lagi rakyat yang mendambakan perubahan akan semakin kecewa dan melambaikan tangan pada sang “maestro” yang “mati prematur”. Batu nisan sudah dipesan.
Koran Tempo yang menggambarkan Jokowi dan Prabowo sedang membagi kue semakin nyata saja. Urusan “ghanimah” memang melarutkan. Harga diri dikorbankan demi mengais patahan kursi. Nyaman juga bisa berselfie. Porsi mulia sebagai “oposisi” dinafikan bahkan dianggap sebagai tempat “sampah” bagi perjuangan yang sia-sia. Demokrasi kompetitif dikubur dengan pembagian kue kekuasaan.
Tidak mudah berjuang dengan ideologi di negeri rangkulan kekuasaan berbagi. Sindiran bahwa institusi kenegaraan tempat para kader menjadi pencuri perlu direnungkan. Executhieves, legislathieves dan Judicathieves. Trias Corrupica, katanya. Yang penting partainya menjadi gendut. Punya Menteri berarti punya “celengan”. Semakin banyak Menteri semakin “berisi” pula celengan itu.
Waktu Pemilu suara rakyat diminta dengan segala cara. Setelah dapat maka kepentingan dan perasaan rakyat ditinggalkan. Sibuk dengan “self aggrandizing”, memperbesar porsi dan kepentingan sendiri.
Mungkin ada niat baik dengan misi mengubah dari dalam. Namun secara empirik faktanya di dalamlah ia berubah. Kabinet kita adalah Presidensial, karenanya Presiden menentukan. Jika hampir semua partai menjadi partai koalisi Pemerintah, maka sebagai infrastruktur politik dan jembatan aspirasi rakyat telah ambruk.
Memalukan, partai utama pendukung Calon Presiden yang kalah mencoba mengais “patahan kursi” dari pemenang. Janganlah bicara kemandirian politik, ekonomi, atau budaya jika memang faktanya rapuh dan mudah terkooptasi. Kini rakyat terpaksa berkreasi mencari jalan perjuangannya sendiri. Tanpa berharap pada pemimpin yang sibuk dalam otak-atik kursi.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 12 Oktober 2019