Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Setelah ramai model toleransi “tumpeng masuk gereja” di film The Santri, di dunia nyata penyerahan tumpeng oleh banser dan gusdurian di gereja Santa Theresia Majenang, atau melantunkan shalawat di gereja berkolaborasi dengan “haleluya” di video medsos, kini juga heboh doa di acara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di lingkungan kantor Garuda Indonesia Group.
Pada 1 Oktober lalu. Doa kristen dipimpin oleh seorang wanita di lingkungan pegawai yang mayoritas Muslim. Ini tak lazim. Biasanya di acara resmi seperti ini doa dilaksanakan secara Islam. Dibacakan laki-laki karena mayoritas Muslim.
Apalagi jika doa yang dengan kalimat “Allah Bapa Yang Maha Kasih…” itu diaminkan oleh Muslim, maka bisa bisa kafirlah dia. Allah itu “lam yalid wa lam yuulad”, tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Tak ada Tuhan Bapa atau Tuhan anak.
Rupanya pola seperti di Garuda ini nyaris terjadi di Gedung MPR. Gerindra mengajukan juru doa wanita, seorang Kristiani. Namun akhirnya diambil alih oleh Ketua MPR Zulkifli Hassan. Gerindra kecewa juru doanya ditolak.
Lagi-lagi ini persoalan toleransi salah kaprah. Umat Islam sendiri yang bodoh dan berwatak “minder”. Tak perlu memaksakan baca doa oleh umat Kristiani. Di samping keluar dari kelaziman, juga bersikap tidak proporsional. Lagi pula partai politik tak perlu “kampanye” atau “cari muka” dengan terobosan toleransi yang salah tempat tersebut.
Umat Islam rasanya terus disudutkan dengan tuduhan ajaran radikal atau intoleran. Tuduhan yang mengada-ada. Jika dipelajari dengan seksama ajaran dan syariat Islam yang benar maka akan ditemukan ajaran toleransi yang indah. Tapi bukan dengan pola menjual, menggadaikan, atau mencampuradukkan keyakinan.
Dengan penyudutan ini mestinya kita memberi penjelasan dengan baik. Bukan dengan seperti dalam film The Santri atau seperti di acara Garuda atau ngototnya Gerindra yang dengan urusan doa saja masuk kancah politik.
Negara Indonesia yang sudah stabil dalam hubungan antarkeyakinan, semoga tidak dikacaukan oleh sikap berkeyakinan yang keliru. Para pemimpin agama hendaknya menjelaskan lebih jelas dan tegas pada pemeluk ajaran masing-masing tentang keyakinan orang lain. Jika tidak, maka yang terjadi bukan toleransi. Tapi sinkretisme yang berefek penggerogotan “keimanan” masing masing.
Kacaunya kondisi politik dan ekonomi bangsa ini janganlah diperparah dengan amburadulnya juga dalam pemahaman keyakinan dan relasinya. Sebab nanti yang terjadi adalah toleransi yang semakin ngawur. Tidak ada berkah dari Allah, lalu bangsa dan negara ini akan hancur karena diisi oleh umat yang dikhawatirkan memang kufur. Menentang hukum Allah. Na’uudzubillaah.
*)Pemerhati Politik dan Keagamaan
Bandung, 3 Oktober 2019