Catatan Muhammad Akbar, S.Pd*
SALAM-ONLINE: Dalam beberapa hari ini, isu tentang pelarangan cadar kembali mencuat setelah Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan bahwa orang yang memakai niqab atau cadar dilarang masuk dalam instansi pemerintah, dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan.
“Memang nantinya bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh. Kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto yang lalu,” kata Fachrul seperti dikutip CNN Indonesia dalam Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Fachrul menegaskan langkah ini jadi pertimbangan Kemenag karena semakin banyak pengguna niqab yang menganggap hal itu sebagai indikator keimanan. Menurutnya, banyak pengguna niqab yang menilai orang yang tak bercadar tingkat ketakwaannya lemah.
Tentu bukan hal baru, ketika seorang pejabat pemerintah di berbagai tingkatan termasuk menteri sekalipun masih melarang penggunaan cadar ini masuk dalam instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan lainnya. Karena itu, berbagai kasus pelarangan cadar ini masif dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia.
Pada awal 2018, terbit surat dari Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang memandatkan adanya “pembinaan” terhadap mahasiswi bercadar di lingkungan akademiknya. Tak main-main, dalam isi surat tersebut dinyatakan bahwa mahasiswi yang “nekat” masih bercadar setelah mendapatkan pembinaan, dimohon untuk mengundurkan diri dari kampus atau diancam akan dikeluarkan dari kampus atas pertimbangan, kalau boleh disebut serampahan, bahwa “cadar” adalah salah satu simbol atau indikasi dari paham radikalisme. Oleh karenanya, menyalahi kode etik perguruan tinggi tersebut.
Bahkan pihak kampus telah melakukan pendataan jumlah mahasiswi yang mengenakan cadar. Hal itu dilakukan sesuai surat resmi dengan nomor B-1031/Un.02/R/AK.00.3/02/2018.
Begitupun dengan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare. Kampus ini juga melarang mahasiswinya menggunakan cadar atau niqab. Aturan itu dituangkan dalam kode etik yang berlaku di kampus tersebut. (Lihat http://news.rakyatku.com/…/hanya-untuk-melihat-ekspresi-waj…).
Lebih dari itu, Dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi berinisial HS dinonaktifkan selama satu semester oleh Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan karena menggunakan cadar. (Lihat https://www.cnnindonesia.com/…/dinonaktifkan-karena-pakai-c…).
Isu pelarangan cadar di berbagai perguruan tinggi, instansi pemerintah, menjadi polemik yang seharusnya segera diakhiri, dan mengembalikan semua itu kepada hukum dan syariat Islam. Sebab, di dalam hukum tidak ada regulasi di Indonesia yang lebih tinggi selain Undang-Undang Dasar 1945. Dalam undang-undang, negara memberikan kebebasan pada rakyatnya untuk menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing, tanpa ada paksaan dan lainnya.
Menurut hemat saya, terdapat kejanggalan dalam pernyataan menteri agama di atas terkait pelarangan bagi pemakai cadar atau niqab masuk dalam instansi pemerintahan, baik secara hukum maupun syariat Islam.
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada Konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Sebab itu, dari segi hukum tidak ada lagi soal pelarangan cadar. Sebab cadar merupakan sikap pribadi dan hak seseorang yang mencoba untuk menjalankan agamanya dengan baik. Dan hal itu menjadi kewajiban pemerintah untuk melindunginya sebagaimana yang diamanahkan di dalam undang-undang.
Adapun dalam syariat Islam wanita memiliki kedudukan yang sangat mulia. Hak-haknya terlindungi sebagaimana kaum lelaki. Mereka memiliki beberapa keistimewaan dan kekhususan dalam syariat Islam yang suci ini. Di antara bentuk penghormatan bagi kaum wanita dalam Islam adalah disyariatkannya hijab dan jilbab bagi mereka. Hijab dan jilbab disyariatkan dengan berbagai hikmah yang sangat luhur, di antaranya untuk melindungi kehormatan mereka serta mencegah niat yang jahat dan hawa nafsu kaum lelaki agar tidak terjatuh dalam hal yang diharamkan oleh Allah.
Maraknya perempuan mengenakan hijab dan jilbab (menutup aurat), seiring dengan kebangkitan Islam dan makin gencar serta berkembangnya dakwah di negeri kita. Gelombang hijrah yang semakin besar itu nampak dari berbagai kalangan, baik generasi muda hingga tua. Mereka mulai tersadarkan akan pentingnya menjalankan Islam ini secara kaffah.
Fenomena ini tentu saja menggembirakan hati-hati orang beriman karena para ulama sejak dahulu telah menerangkan disyariatkannya jilbab dan cadar. Mereka menganggap keduanya adalah pakaian dan identitas Muslimah sejati walaupun mereka berselesisih pendapat secara khusus tentang hukum cadar apakah wajib atau sunnah. Tapi, pada intinya cadar adalah bagian dari syariat Islam.
Di antara hal yang patut disyukuri adalah kesadaran Muslimah yang bejilbab secara sempurna, baik yang bercadar maupun yang tidak bercadar didasari dengan ilmu syar’i yang mereka pelajari, sehingga terjalin sifat toleransi yang baik di antara keduanya dan saling menghormati serta menghargai pendapat masing-masing.
Namun, dari hal tersebut, nampaknya banyak golongan atau individu tertentu yang tidak menyukai dengan banyaknya wanita Muslimah yang memakai cadar. Bahkan alasan mereka menolak cadar macam-macam. Ada yang mengatakan pemakaian cadar tidak ada perintahnya di dalam Al-Qur’an dan pemakaian cadar hanya berlaku di masyarakat Arab dahulu sebagai tradisi bagi masyarakat tertentu, dan lainnya.
Pernyataan ini tentu keliru. Sebab perintah menjalankan syariat Islam ini termasuk cadar terdapat di dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir. Cadar itu adalah bagian dari syariat Islam dan merupakan pakaian Muslimah. Hal ini terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59:
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anakmu dan istri-istri orang yang beriman, ‘Hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS Al Ahzab: 59).
Ayat ini ditafsirkan oleh para ahli tafsir dari kalangan sahabat dan tabiin sebagai perintah menutup wajah, di antaranya: Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abidah, Hasan Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An Nakhai, Atho Al Khurasani dan lain-lain. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir).
Tafsiran ini juga diperkuat dengan riwayat Ummu Salamah. Beliau mengatakan, ketika turut ayat tersebut para wanita Anshor keluar dan seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak hitam disebabkan pakaian yang menutupi kepala dan wajah mereka. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, 4103).
Jadi, jika ada pihak yang menyatakan bahwa penggunaan cadar itu hanya berlaku di masyarakat Arab dahulu, tentu hal ini juga keliru. Sebab, masyarakat Arab terdahulu yang lazim disebut dengan Masyarakat Jahiliyah justru tidak mengenal hijab, apalagi yang dinamakan dengan cadar.
Fenomena ikhtilat (bercampur baur antara laki-laki dan wanita) di zaman itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa bahkan meluas. Pakaian wanita di zaman itu seadanya saja. Bagian depannya hingga ke dada terbuka dan gombrang sesuai dengan iklim di gurun pasir. Itu keadaan umum wanita Arab Jahiliyah. Meskipun pakaian di daerah perkotaan lebih terkesan mewah dan lebih banyak memiliki perhiasan dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan.
Wanita Arab Jahiliyah sangat memperhatikan dalam berhias dengan rambut mereka, senantiasa disisir, dan tidak lupa memakai berbagai jenis wewangian. Mereka juga terbiasa membuat tatto, mengecat tapak tangan dan kaki, memperindah alis, menghilangkan rambut dan bulu di wajah, mengenakan berbagai jenis perhiasan seperti kalung, gelang kaki, gelang tangan dan semacamnya, tergantung kondisi finansial masing-masing. Intinya mereka di zaman itu belum mengenal hijab. (Lihat Mausu’ah Al Hadharah Al Arabiyyah Al Islamiyyah (3/295-296) sebagaimana yang kami kutip dari kitab Hijab Al Muslimah (hal 58-60).
Begitupun dengan perkataan para ulama madzhab, walaupun mereka berselisih pendapat apakah menutup wajah wajib atau sunnah. Tetapi mereka sepakat cadar adalah sesuatu yang dianjurkan utamanya pada masa ketika dikhawatirkan muncul fitnah di tengah masyarakat akibat memamerkan wajah wanita.
Pertama, Madzhab Hanafiyyah. Al Allamah Ath Thahthawi menuliskan dalam kitabnya Hasyiyah Ath Thahthawi ala Maraqy Al Falah (hal 161), “Wanita muda dilarang memperlihatkan wajahnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bukan karena wajah aurat.”
Begitu pula dengan Syaikh Muhammad Alauddin dalam kitabnya Ad Durr Al Muntaqa fii Syarh al Multaqa (1/81) mengatakan, “Seluruh badan wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah dan tapak tangan. Hal ini tidak termasuk aurat namun dapat mengantarkan pada fitnah. Oleh karena itu dilarang untuk dinampakkan di depan para lelaki karena akan menimbulkan fitnah.”
Kedua, Madzhab Malikiyyah. Syaikh Al Haththab dalam Mawahib Al Jalil (1/499) berkata, “Ketahuilah bahwa jika dikhawatirkan atas wanita fitnah, maka wajib atasnya menutup wajah dan tapak tangan. Hal itu dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab…”
Begitu juga dengan Imam Qurthubi dalam Tafsirnya (12/229), menyatakan, “Ibnu Khuwaiz Mandad salah seorang ulama besar madzhab Malikiyyah mengatakan, ‘Sesungguhnya wanita jika cantik dan dikhawatirkan pada wajah dan tapak tangannya menimbulkan fitnah, maka hendaknya menutup wajahnya’.”
Ketiga, Madzhab Syafi’iyyah. Syaikh Muhammad bin Abdullah Al Jardani dalam kitabnya Fathul Allam bisyarhi Mursyid Al Anam (1/34-35) mengatakan, “Ketahuilah bahwa aurat wanita ada dua bagian yaitu aurat pada waktu shalat dan aurat di luar shalat, keduanya harus ditutup”. Beliau juga mengatakan bahwa wajib bagi wanita menutup seluruh tubuhnya tanpa kecuali dari pandangan lelaki asing dan ini adalah pendapat yang dipegang dalam madzhab.”
Syaikh Sulaiman Al Jamal ketika menjelaskan pernyataan Imam Nawawi dalam Al Manhaj bahwa aurat wanita merdeka adalah selain wajah dan tapak tangan, beliau berkata dalam kitabnya Hasyiah Al Jamal ala Syarhi Al Manhaj (1/411), “Ini adalah auratnya pada saat shalat, adapun auratnya di luar shalat di depan lelaki asing yang bukan mahramnya adalah seluruh tubuhnya…”
Keempat, Madzhab Hanabilah. Imam Ahmad sebagaimana yang dinukil dalam Zaadul Masir (6/31) berkata, “Seluruh tubuh dari wanita merdeka adalah aurat, termasuk kuku.” Begitu juga dengan Syaikh Yusuf bin Abdul Hadi Al Maqdisi dalam Mughni Dzawil Afham (hal 120) berkata, “Tidak boleh bagi laki-laki memandang wanita yang bukan mahramnya dan wajib atas wanita menutup wajahnya jika keluar di keramaian.”
Begitupun dengan pendapat selain ulama madzhab. Di antara ulama yang mewajibkan menutup wajah bagi wanita merdeka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa 15/371-372), Ibnul Qayyim Al Jauziyyah (I’lam Al Muwaqqiin 2/80), Al Amir Ash Shon’ani (Subulus Salam 1/131), Shiddiq Hasan Khan Al Qinnauji (Fathul Allam 1/97) dan Imam Asy Syaukani (5/6).
Selain itu, beberapa ahli tafsir berpendapat wajibnya menutup wajah sebagaimana yang mereka tegaskan dalam kitab tafsir mereka, di antaranya: Ar Rozi (Tafsir Ar Rozi 25/230), Al Baidhowi (Tafsir Al Baidhowi 2/135), Jalaluddin Al Mahalli (Tafsir Jalalain), An Nasafi dalam Tafsirnya (4/182), Zamakhsyari (Tafsir Al Kassysyaf 3/274), Qurthubi dalam Tafsirnya (14/243), Jamaluddin Al Qasimi (Mahasin At Takwil), Al Alusi (Ruhul Ma’ani 22/89), Al Jashshash (Ahkamul Quran 3/372), Abu Bakar Ibnul Arabi (Ahkamul Quran 3/1586), Abdurrahman bin Nashir As Sa’di (Taysir al Karim Ar Rahman 6/247), Muhammad Amin Syinqithi (Adhwaul Bayan 6/586-588), Husnain Muhammad Makhluf (Shafwatul bayan Li Ma’anil Quran hal 537), Abul A’la Al Maududi (Tafsir Surat Al Ahzab hal 161-163), dan lainnya.
Inilah beberapa nukilan dari para ulama kaum Muslimin tentang disyariatkannya bercadar. Jelas bagi kita bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa cadar tidak memiliki landasan dalam syariat, membid’ahkannya apalagi sampai mengatakan bukan pakaian Muslimah, hanya budaya Arab terdahulu yang sudah tidak sesuai dengan zaman kita saat ini.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika persoalan cadar ini masih dipertanyakan landasan syariat dan hukumnya di Indonesia. Apa lagi melarang wanita-wanita Muslimah menggunakan cadar masuk dalam berbagai instansi pemerintahan dan yang lainnya.
Justru menurut saya, lebih dari semua hal di atas, mengapa Kemenag begitu ngotot mengurusi orang-orang yang bercadar. Padahal mereka sedang berjuang dan berusaha untuk menjaga kesucian diri dan kehormatan mereka. Sedangkan di sisi lain, tidakkah Kemenag membuka mata dan membaca kondisi wanita-wanita hari ini di Indonesia. Pakaian mereka yang sangat terbuka, bahkan sangat mudah kita dapati dalam seluruh lingkungan kehidupan kita, baik diperguruan tinggi, sekolah, instansi dan masyarakat.
Data tentang hancurnya moral masyarakat hari ini begitu terpampang di hadapan kita. Seharusnya hal tersebut lebih membutuhkan perhatian yang serius dari pihak pemerintah. Jauhnya umat ini dari agamanya menjadi tugas bersama, termasuk pemerintah, untuk mendekatkan kembali masyarakat kepada agamanya. Hal ini lebih urgen dari pada melarang wanita-wanita Muslimah menggunakan cadar dalam berbagai aktivitasnya.
Jum’at 1 November 2019
*)Penulis, Founder www.mujahiddakwah.com, Infokom PP LIDMI dan Pendiri Madani Institute–Center for Islamic Studies