Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Tentu bukan perayaan Natal 25 Desember-nya yang bikin ribut. Tetapi justru di kalangan bukan umat Kristiani yang ribut. Aneh sebenarnya justru umat Islam yang selalu berdebat pro dan kontra mengucapkan selamat Natal pada umat Kristen. Hampir setiap tahun.
Perlu koreksi diri atas kebodohan ini. Isu toleransi yang menjadi penyebab. Jika saja kita berpikir jernih maka tentu selesai masalahnya. Pikiran jernih adalah mari pikirkan urusan kita sendiri. Toleranlah dengan membiarkan urusan orang lain. Jangan ganggu, jangan singgung, jangan masuk ke urusan umat lain. Biarkan umat Kristen merayakan Natal, umat Hindu dan lainnya merayakan hari rayanya. Kita hormati dengan diam. Bukan banyak omong ini itu, selamat ini dan itu.
Secara substansi sebenarnya umat mana pun tidak butuh campur tangan. Umat Islam tidak butuh ucapan selamat Idul Fitri dari umat lain. Umat Islam tidak sakit hati jika umat Kristen misalnya, tidak mengucapkan hal tersebut. Malah mungkin kita senang dan bahagia karena mereka tidak membuat kita sulit dengan mesti membalas ucapan.
Demikian juga sebaliknya, benarkah umat Kristen butuh ucapan selamat dari umat Islam? Belum tentu. Atau tidak perlu-perlu amat.
Jika ada yang mempraktikkan, sepanjang tidak menganjurkan tak perlu direaksi. Biarlah menjadi tanggung jawab individual. Misalnya secara demonstratif Wakil Presiden yang “Kiai” mengucapkan selamat, ya biar saja. Sebab, risiko tanggung sendiri. Itu pertaruhan dengan Allah Subnahu wa Ta’ala.
Tetapi jika menganjurkan maka umat berhak untuk menolak, mengecam, bahkan mungkin mendesak agar ia mundur dari jabatan. Wapres itu ngurus negara. Bukan mengurus “cleaning service” di Gereja atau Masjid. Ini sekadar contoh.
Fatwa MUI Jawa Timur yang melarang mengucapkan selamat Natal dinilai sebagai ijtihad ulama untuk melindungi umat. Fatwa ini mesti dihargai. MUI Pusat yang komandannya masih KH Ma’ruf Amin “hanya” mampu menfatwakan larangan mengikuti ritual. Mungkin karena “gaul politik” dan kualitas iman yang berbeda. Kita terima saja lembaga umat berpendirian sebagaimana adanya. Toh umat yang sadar akan memilih jalan yang paling selamat.
Umat Islam tentu meyakini bahwa Nabi Isa tidak lahir 25 Desember. Bahkan umat Islam tidak pula meyakini bahwa Nabi Isa itu Tuhan. Karenanya dengan keyakinan demikian, maka kita semestinya lepas dari hubungan dengan tanggal 25 Desember tersebut. Umat Islam tidak meyakini Nabi Isa disalib dan menerima informasi tentang 25 Desember beserta lingkup ketuhanannya adalah atas dasar musyawarah Nicea yang dipimpin Kaisar Konstantin, Raja Byzantium Romawi Timur.
Jadi, kita urus saja persoalan umat Islam sendiri. Tak usah ikut campur dengan umat Kristiani atau lainnya. Tak perlu ucap selamat natal segala. Lakum diinukum waliyadiin—Bagimu agamamu, bagiku agamaku.
*) Pemerhati Politik dan Keumatan
Bandung, 23 Desember 2019