Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Pernyataan HendroPriyono soal keberadaan Front Pembela Islam (FPI) nampaknya belepotan. Katanya Pemerintah jangan memiliki rasa percaya berlebihan. FPI disebut olehnya sebagai kelompok intoleran. Lalu ngelantur dihubungkan dengan Kartosuwiryo segala. Perbandingan yang tidak relevan seperti gajah dibandingkan dengan pohon durian.
Pemerintah bukan percaya diri berlebihan tetapi mencari solusi keseimbangan untuk kestabilan. Perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) bagi FPI merupakan kebijakan konstruktif bagi pemerintah sendiri. Menyebut FPI sebagai kelompok intoleran mesti berdasar tolok ukur. Hukum dasarnya, bukan pandangan arogansi Hendro sendiri.
Lalu mengaitkan FPI dengan Kartosuwiryo di samping perbandingan yang seperti gajah dengan pohon durian tersebut, juga FPI tidak berjuang untuk mendirikan Negara Islam. berjuang membela Islam di Negara Pancasila.
Jika secara dokumen administrasi telah terpenuhi, wajib tindak lanjut dijalankan. Tak ada alasan untuk tidak memperpanjang jika semua persyaratan administrasi telah lengkap. Ini konsekuensi dari suatu negara hukum.
Jika alasan diragukan soal loyalitas ideologi maka hal itu mesti dibuktikan. Dan jika dianggap menentang Pancasila tentu persoalan serius seperti ini harus ditetapkan oleh Pengadilan.
Tidak boleh sewenang wenang menafsirkan dengan bahasa keangkuhan kekuasaan.
Kembali ke sikap “berang” HendroPriyono, maka Hendro-lah yang nyatanya “over confidence”, bahkan arogan. Sok menjadi pengawal NKRI tapi sebenarnya memecah belah potensi bangsa di NKRI.
Persatuan harus didahulukan. Bukan membahasakan dengan “200 ribu mengorbankan 267 juta”. FPI itu ada dan berdayaguna. Umat Islam tidak mempersoalkan keberadaan FPI. Bahwa ia punya karakter tegas itu sah-sah saja sepanjang tidak melanggar hukum.
Premanisme di negara ini jauh lebih nyata dan berbahaya. Tanpa moralitas. Uang yang menjadi ukuran. Kelompok kelompok preman demikian kadang “dipelihara”. FPI tentu berbeda karena memiliki standar moral yang jelas, yakni Islam. Tidak ada aksi yang berujung proses peradilan dan penghukuman.
FPI iku ono (FPI itu ada) Pak Hendro. Jangan menganggap pemerintah kalah jika memperpanjang SKT ormas FPI. Malu jika diposisikan Pemerintah adalah musuh FPI yang harus dimenangkan atau dikalahkan. Betapa kecil dan kerdilnya Pemerintah jika demikian. FPI, seperti ormas lain, mesti diayomi sama. Kemitraan harus dibangun. Kemitraan yang bersimbiosis mutualistis.
Orang juga sudah mulai membaca arogansi Hendro yang sedang membangun “kerajaan keluarga” dengan mengorbitkan Diaz atau Andika. Hendro masih disorot ikut bertanggung jawab atas kematian Munir di pesawat saat terbang ke Belanda. Kolonel HendroPriyono (saat itu) yang memimpin “pembantaian” 246 pengikut Warsidi di Talangsari Lampung. Semua menjadi goresan hitam.
Hendro, dengan bergantinya kekuasaan tidak berubah karakternya untuk semakin bijak. Tetap tinggi hati. Tidak concern pada khidmat keumatan. Umat Islam selalu diposisikan berhadapan dan dianggap membahayakan. Cara pandang negatif yang sangat kontra produktif. Termasuk juga pada FPI.
FPI itu merupakan bagian dari potensi keumatan bangsa Indonesia. Mesti diajak melangkah bersama. Bukan untuk dimusuhi dan diberi predikat yang buruk.
FPI itu ada dan bisa berdayaguna untuk agama, bangsa dan negara.
Hendro FPI ono…!
*) Pemerhati Politik
Bandung, 5 Desember 2019