Catatan Ahmad Sastra*
SALAM-ONLINE: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim,” (QS At-Taubah: 107-109).
Ayat di atas menegaskan kepada kaum Muslimin bahwa masjid sebagai tempat untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah harus didirikan atas landasan takwa. Esensi takwa menurut jumhur ulama adalah komitmen untuk menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Maka, orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah di masjid adalah manifestasi keimanan dan ketakwaan.
Meskipun asbabun nuzul ayat itu terkait dengan Masjid Madinah yang disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai masjid yang didirikan atas dasar takwa. Hal ini ditegaskan Rasulullah atas pertanyaan yang diajukan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud terkait ayat di atas, lantas Rasulullah menjawab, “Ya masjidmu ini, Masjid Madinah”.
Maka, masjid idealnya adalah tempat yang paling menenteramkan jiwa di antara semua tempat di dunia ini. Dari dalam masjid inilah jiwa seorang Muslim secara total terkoneksi dengan Allah. Sebab aktivitas shalat dari berdiri hingga sujud adalah komunikasi seorang hamba terhadap Penciptanya. Saat shalat di masjid inilah seorang Muslim melupakan sejenak urusan duniawi.
Oleh karena itu, idealnya masjid dibangun atas dasar takwa sekaligus juga dikondisikan senyaman mungkin, baik secara fisik maupun dari perilaku orang lain. Jangan pernah membuat kegaduhan yang bisa mengganggu orang-orang yang sedang beribadah di rumah Allah.
Jika benar, maka berita adanya polisi yang diperintahkan untuk mengawasi (memata-matai) rumah-rumah Allah dengan alasan untuk memantau masjid yang terpapar paham radikalisme, maka tindakan ini adalah perbuatan keji dan telah melampaui batas. Sebab Allah mengharamkan seorang Muslim memata-matai saudara Muslimnya.
Apakah Wapres Ma’ruf Amin yang notabene adalah seorang “ulama” belum paham juga bahwa narasi radikalisme adalah buatan Barat kafir untuk memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Apakah wapres memang belum tahu kalau narasi radikalisme adalah jebakan Barat untuk memecah belah kaum Muslimin? Mestinya seorang ulama tahu akan hal itu.
Wapres juga mestinya tahu bahwa memata-matai sesama Muslim untuk mencari kesalahan adalah perbuatan haram. Adalah mustahil wapres yang “ulama” tidak memahami larangan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang aktivitas memata-matai (tajassus) untuk mencari kesalahan seorang Muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian dari (perbuatan) prasangka itu dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain…,” (QS Al-Hujurat: 12).
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara,” (Diriwayatkan oleh Al Bukhari hadits No 6064 dan Muslim hadits No 2563).
Khalifah Umar Bin Khaththab pernah berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik…,” (Rifqan Ahlu as Sunnah: 10).
Sekali lagi, istilah radikalisme adalah narasi Barat untuk melumpuhkan ajaran Islam, mengadu domba sesama Muslim, menimbulkan saling curiga dan tentu saja memecah belah kaum muslimin. Narasi radikalisme adalah proyek orang kafir yang harus disadari oleh kaum Muslimin.
Istilah terpapar radikalisme adalah narasi absurd yang bisa menjebak kaum Muslimin jika tidak memahami konstalasi politik dan ideologi dunia. Ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme ateis akan terus melakukan hegemoninya di dunia Islam. Mereka tidak akan pernah ridha akan persatuan dan kebangkitan kaum Muslimin.
Sebagai Muslim jangan pernah latah menyuarakan radikalisme yang dituduhkan kepada Islam dan kaum Muslimin. Sebab, hal ini bisa menjerumuskan pelakunya terjebak dalam sifat kemunafikan yang keji dan akan mendapat siksa pedih dari Allah kelak di akhirat.
Kota Hujan, 1 Desember 2019
*) Dr Ahmad Sastra, MM, adalah seorang Penulis Buku, Ketua Divisi Riset dan Literasi
Forum Doktor Islam Indonesia (Fordisi)