Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Sudah banyak yang lama menduga setelah terjadi revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka pemandulan akan berjalan. Lewat adanya Dewan Pengawas yang keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden maka resmi KPK terkooptasi.
Perjalanan terseok-seok model penahanan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan membuktikan kemandulan tersebut. Majalah Tempo menyindir dengan bahasa “cicak menjadi buaya”.
Semestinya jika cicak sudah menjadi buaya tentu semakin hebat. Galak dan buas. Tetapi di sini maksudnya ya sama saja. KPK tidak menjadi penegak hukum yang istimewa. Dulu meski hanya seekor cicak akan tetapi tetap kuat merayap sendiri. Memangsa “nyamuk-nyamuk”.
Kini meski jadi buaya namun sudah menjadi buaya kebun binatang yang ditonton anak anak. Dikendalikan oleh pawang buaya. Buaya yang tak berdaya. Buaya yunior buaya. Ketua KPK bukan komunitas cicak.
Pemberantasan korupsi menjadi tidak prioritas. Terkesan bisa dinegosiasi. Kasus suap PDIP menjadi tontonan sandiwara air mata buaya bahwa PDIP “korban pemerasan oknum-oknum berkuasa”. Sentilan medsos cukup tajam, bagaimana diperas wong Presidennya dari PDIP, Ketua DPR PDIP, begitu juga dengan Menhukham, Menseskab dan Jaksa Agung. Jadi jika PDIP bukan partai penguasa, lalu siapa yang menguasai Pemerintahan? PSI atau PKI ? Jelas bukan.
Ada lagi cermin ketidakberdayaan bagaimana bisa terjadi Ketua dan Pimpinan KPK mau dipanggil ke Kantor Luhut Binsar Lanjaitan. Meski untuk membahas persoalan investasi, akan tetapi KPK “menghadap” Luhut bukan saja lucu, namun memalukan dan memilukan. Semestinya meskipun Ketua KPK adalah Jenderal Polisi aktif, tapi harus bisa menempatkan diri sebagai lembaga anti ruswah yang mandiri dan terpercaya. Bukan sebagai kepanjangan kepentingan kekuasaan.
Ada berita miring soal Ketua KPK Firli Bahuri yang terungkap di persidangan kasus suap terdakwa Bupati non aktif Muara Enim Ahmad Yani bahwa Firli Bahuri menerima suap 35 ribu Dollar AS untuk 16 paket proyek jalan. Penyuap adalah Evelyn MZ Muchtar saat Firli Bahuri menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.
Jika KPK memang sudah tak berdaya, maka sudah bisa diprediksi akan ada tuntutan pembubaran yang terus merembet ke akar masalah seperti batalnya Perppu atau kooptasi KPK oleh Presiden atau Pemerintah.
KPK adalah asa (harapan) rakyat karenanya jangan berubah menjadi asa pesakitan atau sebagai asa yang hilang.
Jika kata Tempo cicak sudah menjadi buaya, sebaiknya KPK berkaca diri, jangan-jangan bukan jadi buaya, tetapi jadi cacing keremi yang bikin gatal, nyeri dan ruam pada dubur. Ia adalah infeksi parasit yang menular karena sentuhan. Nama latinnya Enterobius Vermicularis. Nama yang bagus tapi berbahaya. Semoga Komisi Pemberantasan Korupsi bukan nama bagus yang bikin gatal, nyeri dan ruam bangsa dan rakyat Indonesia.
*) Pemerhati Politik
Bandung, 24 Jumadil Awwal 1441 H/20 Januari 2020 M