Presiden Erdogan Tolak Rencana Perdamaian Timur Tengah Versi Trump
“Apa yang disebut sebagai rencana perdamaian di Timur Tengah versi Presiden AS Trump, itu tidak akan menghasilkan perdamaian dan solusinya,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
SALAM-ONLINE: Rencana perdamaian Timur Tengah versi Presiden AS Donald Trump dinilai mengabaikan hak-hak Palestina. Rencana (jahat) itu sebagai upaya untuk melegitimasi pendudukan/penjajahan Zionis, kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Rabu (29/1/20).
Menjawab pertanyaan wartawan dalam penerbangan kembali dari kunjungannya di Afrika, Erdogan mengatakan rencana itu tidak akan mencapai perdamaian dan solusi di wilayah tersebut. Ia menilai rencana tersebut sebagai upaya mengabaikan hak-hak Palestina dan untuk melegitimasi pendudukan/penjajahan Zionis. Oleh karena itu, Turki menolaknya.
“Yerusalem (Baitul Maqdis) adalah tempat suci bagi umat Islam dan apa yang disebut sebagai rencana perdamaian versi Trump yang mengusulkan untuk menyerahkan Yerusalem ke Zionis, itu kita tolak,” tegas Erdogan.
Pada Selasa (28/1), Trump merilis rencananya yang sering tertunda untuk mengakhiri “konflik” antara Zionis penjajah dengan Palestina (yang dijajah). Konferensi pers yang digelar di Gedung Putih itu dihadiri oleh Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu. Tidak ada perwakilan otoritas Palestina dalam konferensi pers tersebut.
Dalam konferensi pers itu, Trump menyebut Yerusalem sebagai “ibu kota ‘Israel’ yang tidak terbagi”.
Sementara Hamas Palestina mengecam isi perjanjian itu. “Kesepakatan ini tidak sebanding dengan kertas yang ditulisnya. Yerusalem akan tetap untuk Palestina,” kata gerakan perlawanan Islam Palestina yang dipimpin oleh Ismail Haniyah itu.
Rusia dan Rezim Asad Langgar Kesepakatan Astana dan Sochi
Erdogan juga mengkritik sikap Rusia terhadap Suriah, khususnya di provinsi Idlib.
Dia mengatakan tidak ada lagi yang namanya proses perdamaian di Astana, Sochi. “Kita harus melihat apa yang bisa dilakukan Turki, Rusia dan Iran untuk menghidupkan kembali (proses perdamaian),” ujarnya.
Jika Turki dan Rusia adalah mitra setia, negara yang dijuluki sebagai ‘beruang merah’ itu harus menyatakan sikapnya yang sesuai atas Suriah dan Turki, kata Erdogan.
“Jika Rusia mematuhi perjanjian (tentang Suriah), kita juga. Tetapi untuk saat ini, Rusia tidak berpegang pada kesepakatan Astana maupun Sochi,” lanjut Erdogan.
Pada September 2018, Turki dan Rusia di Sochi sepakat untuk menjadikan Idlib sebagai zona de-eskalasi—melarang secara tegas tindakan agresi.
Tetapi lebih dari 1.300 warga sipil terbunuh oleh serangan oleh rezim dan pasukan Rusia di zona de-eskalasi itu sejak perjanjian disepakati. Gencatan senjata pun terus dilanggar oleh rezim Asad dan Rusia.
Dalam langkah terkininya, Turki kemudian mengumumkan pada 10 Januari 2020 lalu bahwa gencatan senjata baru di Idlib akan dimulai tepat setelah tengah malam pada 12 Januari.
Tetapi rezim dan kelompok-kelompok teroris yang didukung Iran melanjutkan serangan darat mereka.
Lebih dari 1 juta warga Suriah menuju (mengungsi) ke dekat perbatasan Turki karena serangan hebat selama setahun terakhir yang dilancarkan oleh pasukan rezim Asad dan Rusia.
Sejak meletusnya perang di Suriah pada Maret 2011, Turki telah menampung sekitar 3,7 juta warga Suriah yang melarikan diri dari negara mereka. Turki menjadi negara tuan rumah pengungsi terbaik di dunia. (mus)
Anadolu Agency