Catatan Tony Rosyid*
SALAM-ONLINE: Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 yang digelar MUI di Pangkalpinang Bangka Belitung tanggal 26-29 Februari 2020 berjalan aman dan lancar. Dari sisi formal acara layak dianggap sukses. Semua berjalan sesuai rencana.
Kongres dibuka oleh KH Ma’ruf Amin selaku wakil presiden. Dalam sambutannya yang cukup panjang, Kiai Ma’ruf menyinggung soal Khilafah yang tertolak. Haaah…! Kok masih nyinggung Khilafah, tanya beberapa peserta. Soal dan isu Khilafah sudah selesai, mestinya tidak perlu dibahas lagi, lanjut mereka.
Secara substansi, kualitas kongres bisa diukur dari diskusi materi dan perumusan rekomendasi. Para ilmuan, tokoh-tokoh berkompeten dan sejumlah guru besar hadir dan ikut ambil bagian dalam bidang masing-masing. Ada Chusnul Mar’iyah. Mantan Komisioner KPU ini menyoroti sistem politik sekarang yang sarat manipulasi dan merusak demokrasi.
Selain Chusnul Mar’iyah, ada Din Syamsudin. Mantan Ketua Muhammadiyah ini mengusulkan agar ada fusi terhadap partai-partai Islam untuk dilebur jadi satu partai. Kendati terkesan utopia, tapi setidaknya wacana Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini seolah membuka fakta betapa partai-partai Islam sering kali tak kompak dan tidak aspiratif. Kenyataannya keempat partai Islam yaitu PKS, PKB, PPP dan PAN lebih sering saling melemahkan.
Selain Jusuf Kalla, Choirul Tanjung, Azumardi Azra, Hamdan Zulfa dan sederet nama tokoh yang lain, hadir juga Haedar Nashir, ketua umum PP Muhammadiyah yang diundang MUI untuk menjadi salah satu narasumber.
Dalam pemaparannya, Haedar Nashir menyadari bahwa Islam ekstrem kanan (fundamental-radikal) dan ekstrem kiri (liberal-sekuler) memang ada. Itu tugas kita untuk merangkulnya. Tidak hanya ada ekstrem kanan dan kiri, tapi juga telah berkembang Islam ekstrem tengah. Peserta langsung tepuk tangan. Riuh.
Siapa ekstrem tengah? Seseorang atau kelompok orang yang mengaku tengah, moderat atau tawasut, tapi sikap dan perilakunya sama—bahkan lebih ekstrem—dari kelompok yang dituduh ekstrem kanan atau kiri.
Pemaparan Haedar Nashir disambut begitu riuh lantaran sebelumnya Ishomudin, pemateri yang menggantikan atau mungkin mewakili KH Said Aqil Siradj dalam makalahnya menyoroti Islam radikal. Dalam presentasinya, Ishom mengungkap ada sejumlah ormas yang terpapar radikal. Di antaranya dia sebut Hibut Tahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin (MM) dan Front Pembela Islam (FPI). Audiens geger!
Dalam sesi tanya jawab, Ishom diprotes oleh banyak peserta. Suasana jadi riuh dan gaduh. Terlihat begitu kecewanya para peserta terhadap Ishom. Di antara yang kecewa itu adalah Kiai Irfan S. Awwas, ketua tanfidziyah Majelis Mujahidin yang saat itu ikut hadir. Dengan lembut Irfan minta kepada Ishom untuk membuktikan indikasi radikal di Majelis Mujahidin. “Kalau tidak, Anda berarti menebar fitnah,” kata Irfan.
Seorang perwakilan MUI Menado dengan suara lantang menggunakan kata “penjilat” yang nampaknya ditujukan kepada Ishom. Dia membeberkan fakta bahwa Ishom ini adalah saksi ahli di persidangan yang meringankan Ahok dalam kasus penistaan agama. Suasana makin tegang, sekaligus terang benderang.
Perwakilan FPI juga hadir di forum itu. Tapi tidak dapat kesempatan untuk bicara. Kabarnya DPP FPI telah mengirimkan surat resmi sebagai protes kepada panitia kongres atas kejadian itu.
Karena suasana yang tidak kondusif, dan atas desakan banyak peserta, Ishom akhirnya diminta untuk tidak bicara lagi. Meski sempat memberi sedikit penjelasan soal posisinya sebagai saksi ahli untuk Ahok. Tapi tak sempat lama. Para peserta gerah dan meminta Ishom berhenti bicara. Berhenti, diam dan turun. “Jangan bicara lagi,” kata Ustaz Fadzlan Garamatan, perwakilan dari Papua. Dan akhirnya, Ishom pun berhenti bicara.
Kongres ini untuk menyatukan umat, kenapa malah diporakporandakan, bisik beberapa peserta di Ball Room Novotel Hotel, tempat Kongres Umat Islam ke-7 ini diselenggarakan.
Apakah berarti Ishomudin ini yang dianggap sebagai bagian kelompok tengah ekstrem dalam paparan Haedar Nashir? Ketua Muhammadiyah ini sama sekali tidak menyebutkan itu. Haedar Nashir tak menunjuk nama dan ormas mana pun ketika menjelaskan tentang adanya tiga kelompok ekstrem Islam tersebut. Bahkan menganjurkan untuk tidak bias menuduh sebuah kelompok itu ekstrem. Malah ia menekankan untuk merangkul semua kelompok.
Namun karena itu diungkapkan persis setelah kegaduhan terkait materi Ishomudin, maka asumsi peserta kongres langsung mengarah ke Ishomudin.
Terkait peristiwa ini, teringat sebuah peribahasa “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Diselenggarakannya kongres ini merupakan bagian dari kesadaran dan keinsafan atas persoalan ukhuwah Islamiyah yang masih jadi masalah di Indonesia. Tak selayaknya dibuat, atau dipancing untuk gaduh.
Menyatukan! Ini kata kuncinya. Bersatu untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi umat. Inilah yang sedang dirumuskan dalam berbagai rekomendasi kongres kali ini. Tapi sayang kalau masih harus ternoda oleh narasi Khilafah, ekstrem dan intoleransi yang mestinya sudah selesai sebelum kongres itu diselenggarakan.
Anyway, selamat dan sukses buat panitia, MUI dan seluruh peserta kongres. Umat menunggu realisasi dari rekomendasi kongres. Kalau tidak direalisasikan, buat apa ada rekomendasi kecuali hanya untuk habiskan waktu, tenaga dan biaya. Mari kita tunggu komitmen dan kinerja Badan Pekerja setelah kongres usai.
Pangkalpinang,
5 Rajab 1441 H/29 Februari 2020 M
*) Penulis, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa