Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Agenda seminar atau diskusi online bertema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan mahasiswa UGM menjadi gonjang-ganjing.
Reaksi mulai dari pendapat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut makar hingga teror yang terjadi pada Panitia maupun Narasumber Prof DR Ni’matul Huda, SH, M. Hum, dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Pernyataan sikap Asosiasi Pengajar HTN dan HAN, Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia, Serikat Pengajar HAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia “Mengutuk Keras Tindakan Teror terhadap Insan Akademik dan Penyelenggaraan Diskusi di Yogyakarta”.
Kajian akademik soal pemecatan Presiden bukan hal yang tabu, apalagi terlarang, termasuk di masa pandemik. Sepanjang aturan Konstitusi mengatur persoalan pemecatan Presiden maka kajian tersebut menjadi sah-sah saja. Hal itu merupakan bagian dari “enlightenment” dalam dunia akademik.
Jangankan di lingkungan akademik, di masyarakat pun hal yang wajar adanya diskursus soal pemecatan Presiden. Toh itu adalah bagian dari sistem ketatanegaraan kita. Sejarah pun pernah mencatat soal terjadinya pemecatan Presiden.
Yang tidak boleh adalah jika ada sekelompok masyarakat menghentikan secara paksa. Tapi jika disalurkan melalui DPR misalnya, maka desakan agar Presiden dipecat itu sah-sah saja. Konstitusi melindungi.
Pasal 7A UUD 1945 tegas mengatur, baik syarat maupun prosedur pemecatan Presiden. Karenanya sangat konstitusional. Mereka yang melakukan simplifikasi dengan bahasa makar apalagi melakukan teror jelas merupakan perilaku menyimpang yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Aparat penegak hukum harus mengejar pelaku teror tersebut. Apalagi mencatut ormas Islam segala. Pelaku kriminal bergaya adu domba PKI itu harus dihukum berat.
Sungguh wajar pembelaan masyarakat akademik atas terjadinya teror dan kebodohan ilmiah ini. Jangankan sekadar diskusi hingga pemecatan Presiden sebenarnya juga adalah sah sepanjang dilakukan oleh DPR, diproses MK dan ditetapkan MPR. Jadi tak ada yang harus dimasalahkan atau dikasuskan.
Jika memang Presiden melakukan pengkhianatan, kejahatan berat, serta melalukan perbuatan tercela, UUD menyatakan Presiden bisa untuk dipecat (diberhentikan).
Gerakan moral kampus memang ditunggu publik. Rakyat butuh “guidance” dalam menghadapi iklim politik yang dirasakan semakin membahayakan. Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, perongrongan ideologi, hingga penunggangan pandemi tidak boleh dibiarkan. Para pemanfaat kekuasaan mesti diingatkan dan diluruskan. Rakyat tidak boleh dipinggirkan dan ditindas, apalagi sampai diperbudak.
Gerakan kemerdekaan di masa penjajahan dimotori oleh kaum intelektual. Perubahan sosial dan politik diawali oleh lapisan strategis ini.
Kini pernyataan soal makar atau tindakan teror ke lingkungan akademik harus dilawan dan di protes keras. Kampus memiliki kebebasan akademik yang dilindungi oleh Undang-Undang dan Konstitusi.
Sepanjang sesuai koridor aturan hukum ketatanegaraan, maka memecat Presiden itu bukanlah makar. Sangat konstitusional!
*) Alumnus Fakultas Hukum UNPAD Jurusan Hukum Tata Negara
Bandung, 8 Syawal 1441 H/31 Mei 2020 M