Karena Berpotensi Langgar Konstitusi, PKS Tolak Perppu 1/2020

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR, Sukamta

SALAM-ONLINE: Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Mayoritas fraksi di DPR menyetujui Perppu tersebut. Hanya satu fraksi yang menolak, yaitu fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Wakil Ketua Fraksi PKS, Sukamta mengatakan bahwa fraksinya memiliki sejumlah argumen yang mendasar dan substantif untuk menolak Perppu Nomor 1 Tahun 2020.

“Kami melihat Perppu ini bisa membahayakan negara karena punya potensi melanggar konstitusi, sementara tujuannya untuk mengatasi Covid-19 beserta dampaknya, namun tidak terlihat menjadi fokus utama,” ujar Sukamta.

Dia menyebut potensi pelanggaran konstitusi dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama, Perppu dianggap mereduksi peran dan kewenangan DPR dalam pembahasan dan penetapan UU APBN dengan pasal 12 ayat 2 yang mendelegasikan perubahan postur anggaran melalui Peraturan Presiden. Hal tersebut menurutnya jelas melanggar ketentuan Pasal 23 UUD 1945.

“Subtansi pasal 23 UUD 1945 mengapa APBN harus dibahas bersama antara pemerintah dengan DPR sebagai disebut pada ayat 1 agar pembahasan uang rakyat ini bisa dilakukan secara terbuka, bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Sukamta dalam keterangan yang dilansir Gatra.com, Rabu (6/5/20).

Dengan delegasi ke Peraturan Presiden itu, ujar Sukamta, maka perubahan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Tidak ada transparansi prosesnya.

“Hal ini bisa rawan penyelewengan anggaran meski pemerintah bilang Perppu ini hanya untuk tahun 2020,” ujarnya.

Baca Juga

Kedua, potensi pelanggaran konstitusi terletak pada aturan kekebalan hukum pada Perppu yang dinyatakan pada pasal 27 ayat 2 bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Legislator Dapil Yogyakarta itu menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan presiden tidak kebal hukum karena adanya pengakuan yang sama dan setara di hadapan hukum sesuai pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

“Aturan kekebalan hukum ini jelas melanggar prinsip equality before the law. Kita tentu tidak menghendaki uang triliunan rupiah jadi bancakan para penumpang gelap. Saya kira sudah ada contoh nyata akal-akalan anggaran ini berupa program kartu prakerja dengan pelatihan online senilai 5,6 triliun rupiah dengan menujuk 8 perusahaan digital sebagai mitra yang mendapat banyak kritikan masyarakat,” tegasnya.

Potensi pelanggaran konstitusi ketiga menurut Anggota Badan Anggaran DPR RI itu terletak pada pasal 27 ayat 1 Perppu yang meniadakan potensi kerugian negara atas biaya yang dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK. Hal ini menurutnya telah mengeliminir peran BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) UUD NRI 1945 yang memiliki kewenangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri.

“Jadi luar biasa sekali Perppu 1/2020 ini, sudah memberi kekebalan hukum masih ditambah setiap tindakan terkait biaya bukan termasuk kerugian negara. Sementara di dalam Perppu juga tidak diatur batasan defisit anggaran. Dengan kewenangan extra ordinary seperti itu sangat membuka ruang penyelewengan dan bisa ditunggangi pihak-pihak yang ingin ambil untung di atas penderitaan rakyat,” jelasnya.

Atas dasar itu, PKS menyatakan menolak tegas Perppu itu karena dianggap tidak fokus untuk menyelesaikan Covid-19 serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Hal itu terlihat dari postur anggaran untuk insentif kesehatan sebesar Rp75 triliun dan insentif social safety net Rp110,1 triliun. Besaran itu jauh lebih kecil dibanding insentif pemulihan ekonomi Rp185 triliun dan insentif industri Rp220,1 triliun.

“Kita berharap dan mendukung upaya-upaya pemerintah menangani pandemi Covid-19 dan memenuhi kebutuhan rakyat yang sedang sulit, tapi Perppu lebih banyak muatan pemulihan ekonomi yang potensial problematik. Mestinya pemerintah prioritaskan anggaran untuk selesaikan pandemi Covid-19 secepatnya dan juga memberikan bantuan jaring pengaman sosial kepada keluarga miskin, rentan miskin, para buruh yang diPHK dan pekerja sektor informal sebagai pihak yang paling terpukul,” kata Sukamta. (Gatra)

Baca Juga