Pemerintah (pusat) juga bakal dinilai tidak konsisten dalam mengeluarkan “kebijakan” nasional.
SALAM-ONLINE: Rencana Pemerintah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mendapat kritikan tajam. Di tengah peningkatan jumlah kasus warga positif terjangkit Virus Corona, relaksasi (pelonggaran) dinilai hanya akan membuat “ambyar” proses pencegahan yang selama ini dilakukan.
Pemerintah juga bakal dianggap tidak konsisten dalam mengeluarkan kebijakan. World Health Organization (WHO) juga sudah mengingatkan kepada negara di dunia, untuk tak mencabut status lockdown atau pembatasan sosial yang dilakukan. Sejumlah negara yang melonggarkan pembatasan sosial kembali mengalami peningkatan kasus infeksi Covid-19.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesusm menyarankan, Negara harus terlebih dulu mampu mengendalikan epidemi, sebelum mencabut pembatasan sosial. Selain itu, negara juga harus bisa memastikan sistem kesehatannya mampu mengatasi potensi penularan kembali dan memiliki pengujian yang diperlukan untuk melacak serta mengisolasi infrastruktur yang ada.
Berkaca dari saran WHO, PSBB di Indonesia sejak dimulai oleh DKI Jakarta pada 10 April 2020, telah berhasil membuat kurva kasus postif menjadi landai, meskipun belum signifikan menurunkan angka penyebaran Virus Corona. Tren positif ini dikhawatirkan kembali buyar jika PSBB dilonggarkan.
Pengamat Sosial UI, Rissalwan Habdy Lubis menilai, akan jadi blunder jika PSBB yang saat ini terkesan belum ditaati secara serius oleh masyarakat, kemudian dilonggarkan. Dia khawatir, aturan yang dilonggarkan akan meningkatkan angka kasus penularan secara ekstrem.
“Kalau cuma dengan imbauan, ditambah lagi PSBB ini enggak efektif, publik makin merajalela. Artinya double nih, bisa ekstrem lagi naiknya. Sementara kalau kita melihat dari segi data tadi, sebetulnya data itu juga enggak real karena cara test kita kan enggak efektif. Jadi data kita itu enggak bisa diandalkan juga. Jadi sebetulnya bisa jadi gunung es angka itu, data-data yang disajikan itu gunung esnya lebih besar daripada data real,” kata Rissalwan, dikutip Okezone, Selasa (12/5/2020).
Inkonsistensi Pemerintah
Keseriusan Pemerintah RI dalam menerapkan PSBB mulai mendapat kritik tajam ketika Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, secara mengejutkan merelaksasi pengoperasian transportasi. Transportasi umum diperbolehkan untuk beroperasi dengan syarat harus memenuhi protokol kesehatan.
Masyarakat yang dizinkan bepergian harus masuk kategori yang dikecualikan, yakni pekerja di pelayanan penanganan Covid-19, pertahanan dan keamanan, kesehatan, kebutuhan dasar dan fungsi ekonomi penting.
Keputusan ini dikritik kepala daerah yang menerapkan PSBB. Bupati Bogor, Ade Yasin misalnya, menilai kebijakan Kemenhub membuat kepala daerah kerepotan. Bahkan dengan tegas dia menyatakan keputusan ini sebagai blunder.
Menurutnya, Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang saat ini diterapkan akan menjadi kacau. Seharusnya, Pemerintah Pusat melihat perkembangan di daerah terlebih dahulu. Pasalnya, kebijakan pelonggaran transportasi ke luar daerah bisa membuat risiko Virus Corona makin menyebar.
“Maka secara ekonomi dampaknya pun akan lebih besar daripada menyetop untuk sementara waktu. Sebab semakin menyebar, makin tidak diketahui pula kapan akan berakhirnya pandemi ini,” ujar Ade Yasin, Jumat (8/5/20).
Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zaenal Abidi juga mengkritik kebijakan ini. Dia khawatir penyebaran Virus Corona kian menyebar ke desa-desa dan akan membuat tenaga medis kewalahan dalam menangani pasien.
Dia berharap, Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam masalah Covid-19 ini harus melihat posisi tenaga kesehatan sebagai benteng terakhir. Mereka diminta untuk bekerja keras, tetapi kini banyak regulasi yang dilonggarkan.
Pemerintah juga mendapat sorotan setelah mengumumkan bahwa masyarakat berusia di bawah 45 tahun diizinkan kembali beraktivitas di tengah pemberlakukan PSBB. Upaya itu dilakukan guna mencegah terjadinya pemutus hubungan pekerjaan (PHK). Hal ini disampaikan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo.
Alasan Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini adalah, usia 45 tahun ke bawah tidak termasuk dalam kelompok rentan yang mudah terpapar Covid-19. Berdasarkan data yang ada, tingkat kematian kelompok ini hanya 15 persen.
Kelompok ini juga dianggap sehat secara fisik, punya mobilitas tinggi, dan belum tentu sakit saat terpapar. Kematian tertinggi ada di angka 45 persen dari kelompok usia 65 tahun ke atas.
Kebijakan ini lantas dikritik sejumlah pihak. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebutkan tak ada jaminan warga 45 tahun ke bawah kebal terhadap Corona. Dia menyebutkan, sudah banyak pekerja yang dilaporkan meninggal dunia dan positif corona. Mereka berusia di bawah 45 tahun.
“Dengan kata lain, usia 45 tahun ke bawah bukan jaminan kebal dengan corona,” kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Selasa (12/5).
KSPI mencatat, 2 orang di PT PEMI Tangerang (status PDP), 1 orang di PT Denso dan 8 lain dinyatakan positif, 1 orang di PT Yamaha Music, dan 2 orang buruh PT Sampoerna dikabarkan meninggal dan puluhan lainnya positif.
“Jadi sikap pemerintah yang memperbolehkan bekerja kembali, sama saja mempertaruhkan nyawa buruh di tengah pandemi Corona,” ujarnya.
Lucunya, berkaca dari data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, masyarakat di bawah usia 45 tahun ini justru menjadi penyumbang kasus positif Virus Corona terbanyak di Indonesia.
Gugus Tugas membagi pasien positif Virus Corona dalam beberapa kelompok umur, yakni 0-5 tahun, 6-17 tahun, 18-30 tahun, 31-45 tahun, 46-59 tahun, dan 60 tahun atau lebih.
Dari data tersebut, jumlah pasien positif pada usia 31-45 tahun sebanyak 4.123 orang. Sementara jumlah pasien positif pada usia 18-30 tahun ada 2.696 orang.
Dengan demikian pasien positif dalam dua kelompok umur tersebut mencapai 6.819 orang atau 47,8 persen dari total kasus positif.
Sementara itu, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengingatkan agar semua kebijakan yang diambil Pemerintah dapat dipikirkan secara matang dan hendaknya selalu dipandang dari semua sudut. Dia menilai langkah pemerintah ini hanya mempertimbangkan aspek ekonomi. Hal tersebut tidak tepat dilakukan saat kondisi pandemi Covid-19.
Namun, pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Melki Laka Lena. Menurutnya, pengendalian Covid-19 di Indonesia dan berbagai negara selalu menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang menyertainya.
Cara ini diambil demi mencegah persoalan baru. Untuk itulah, Melki mengaku bisa memahami kebiajakan Pemerintah mengizinkan para pekerja berusia di bawah 45 tahun bisa kembali bekerja.
“Aspek sosial dan ekonomi yang terdampak juga perlu pemanganan serius,” katanya, Selasa (12/5).
Bikin Bingung Masyarakat
Psikolog Intan Erlita menilai, aturan yang berubah-ubah akan membuat masyarakat kebingungan. Menurutnya, aturan yang berlaku di masyarakat, dari tingkat RT hingga Pemerintah Pusat, harusnya selaras.
Persoalan lainnya, kebijakan yang berubah membuat masyarakat berulang-ulang beradaptasi pada kebijakan baru. Tidak semua warga bisa langsung menjalankan yang diinginkan Pemerintah.
“Sehingga masyarakat ada yang bingung, baru mengerti peraturan lama sekarang sudah ada aturan baru lagi,” kata Intan, Selasa (12/5).
Intan menyarankan agar Pemerintah memberikan jarak waktu antara sosialisasi dengan penerapan aturan. Selain itu, cara sosialiasi yang dilakukan juga penting, agar pesan dari Pemerintah bisa diterima dengan baik oleh masyarakat.
Komunikasi yang baik itu, menurut Intan, termasuk dalam meyakinkan masyarakat bahwa pelonggaran PSBB tidak akan membuat penanganan Corona melambat dan wabah semakin lama teratasi.
“Jadi semakin detail pemerintah mengeluarkan aturannya maka semakin cepat masyarakat mengerti akan aturan baru itu. Cuma yang harus dipahami adalah tentang sosialisasi ini harus jelas, dan diharapkan kalau ada peraturan baru tidak harus ditimpa dengan aturan lainnya sehingga membingungkan bagi masyarakat,” ujar Intan. []
Sumber: Okezone, CNNIndonesia