Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Keberadaan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan isapan jempol. PKI terselubung bergerak ke berbagai lembaga yang ada. DPR adalah tempat sembunyi yang sangat terang.
Pengajuan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menunjukkan eksistensi menuju pembelokan arah ideologi negara. Bangsa Indonesia terkejut sudah sejauh ini mereka berniat untuk mengotak-atik ideologi Pancasila.
Partai-partai, khususnya partai pemenang Pemilu yang diandalkan oleh kader PKI semestinya waspada pada penyusupan, penunggangan, atau mungkin suaka politik. Gerakan amuboid PKI yang menempel sebagai parasit bekerja sangat aktif.
Ada anggapan bahwa saat ini adalah momentum untuk bangkit. Apalagi 23 Mei 1920 tepatnya 100 tahun yang lalu adalah berdirinya PKI dalam Kongres ISDV Semarang.
Menguatnya hubungan negara RI dengan RRC telah membangun kepercayaan diri dari para aktivis di dalam negeri. Baru di era Pemerintahan ini Partai Komunis Cina dapat menginjakkan kaki di Istana Negara. Pelukan erat politik mengesankan terjadinya perdamaian dengan negara virus komunisme itu.
Kerja sama antar partai pun berjalan meski di permukaan masih dalam skala terbatas. Soal investasi atau utang luar negeri, itu yang tak terbatas. Dan di bidang ini justru pengaruh Cina dan komunisme dimainkan.
Sikap umat Islam menghadapi geliat, bangkit dan bergeraknya kekuatan PKI tersebut adalah:
Pertama, memperkuat benteng keimanan dengan keyakinan bahwa komunisme termasuk “jalan setan” yang membawa kehinaan hidup di dunia dan akhirat. Berjuang melawannya adalah jihad fii sabiilillaah.
Kedua, memperkuat persaudaraan sesama kelompok perjuangan, baik keumatan ataupun lainnya. Mewaspadai adu domba yang dapat memecah belah dan melemahkan persatuan dan kesatuan. Kebersamaan adalah kekuatan dalam mengawal NKRI.
Ketiga, dalam kesejarahan, PKI itu adalah “musang berbulu domba”. Seolah berjuang untuk rakyat, tetapi memiliki pola kekuasaan yang kejam dan menindas rakyat. Komunisme itu paham yang nir-moral, “menghalalkan segala cara”.
Keempat, umat Islam segera membentuk front-front anti komunis atau apapun namanya yang fokus pada perlawanan terhadap gerakan komunis yang semakin masif dan selalu mendekat serta sembunyi di ketiak kekuasaan.
Kelima, sebagaimana seruan MUI, lembaga keumatan harus ikut mengawasi masuknya TKA Cina yang datang bergelombang. Patut dicurigai mereka adalah tentara atau milisi yang menyamar sebagai pekerja.
Keenam, memperkokoh silaturahim dan komunikasi antara lembaga perjuangan anti komunis dengan instansi TNI maupun Polri agar langkah dan tindakan dapat terkendali dan senantiasa berbasis hukum.
Ketujuh, jika PKI disinyalir bangkit, maka umat Islam dan umat beragama yang sering ditempatkan sebagai musuh komunisme, harus bangkit pula. Berteriak mendesak Pemerintah dan aparat keamanan untuk bertindak serius terhadap ancaman perkembangan PKI tersebut.
Kedelapan, konstelasi di DPR menjadi pelajaran betapa pentingnya koordinasi anggota DPR lintas Fraksi yang memiliki kepentingan sama dalam melawan kebangkitan PKI. Kekuatan umat Islam maksimal mensupport perjuangan anggota Dewan yang istiqomah.
Menarik pengakuan tokoh politik dan anak PKI bahwa meskipun PKI sudah tidak ada, tetapi paham komunis tidak akan hilang. Selalu melekat dan tumbuh di dada mereka yang pernah terbina atau aktif dalam perjuangan membela paham komunis tersebut. Ini artinya semangat untuk “reborn” dan “revive” dari ideologi dan gerakan komunis di Indonesia selalu meningkat.
Umat Islam tidak boleh lengah. PKI di dalam sejarah perkembangannya selalu berakhir dengan pemberontakan atau pengambilalihan kekuasaan. PKI bukan saja tidak pernah kapok, tetapi juga bandel. Mungkin karena paham yang tak pernah padam itu.
Meskipun demikian, semangat umat Islam pun tak pernah padam untuk membasmi PKI dan komunisme sampai ke akar-akarnya.
Haram negara dan bangsa Indonesia ini disentuh oleh ideologi komunis. Siapa pun yang berpihak kepadanya akan dilibas dan diberantas!
Allahu Akbar, Allahu Akbar.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 30 Ramadhan 1441 H/23 Mei 2020 M