SALAM-ONLINE: Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat bersama Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia telah melakukan kajian dan diskusi terkait terbitnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Dari hasil kajian dan diskusi itu, Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Dewan MUI Provinsi se-Indonesia mengeluarkan Maklumat yang menyatakan penolakan terhadap RUU HIP ini. Mengapa MUI menolak?
Ada 8 poin Maklumat yang diterima redaksi pada Jumat (12/6/20), menyebabkan MUI menolak RUU HIP. Tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor 25/MPRS/1966 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Komunis/Marxisme-Leninisme, adalah di antara sebab penolakan terhadap RUU HIP ini.
“Tidak dicantumkannya TAP MPRS No 25/MPRS1966 ini adalah sebuah bentuk pengabaian terhadap fakta sejarah yang sadis, biadab dan memilukan yang pernah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia, sehingga sama artinya dengan persetujuan terhadap pengkhianatan bangsa tersebut,” demikian bagian poin pertama dari Maklumat Dewan Pimpinan MUI Pusat, disampaikan pada Jumat (12/6/20), yang diikuti oleh 34 Dewan Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia.
RUU HIP yang disebut menjadi RUU Inisiatif DPR RI dan disetujui 8 Fraksi di DPR tetapi ditolak oleh satu-satunya Fraksi, yaitu PKS, dinilai MUI telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Tahun 1945.
“Kami memaknai dan memahami bahwa Pembukaan UUD Tahun 1945 dan bahkan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi Pancasila,” kata Dewan Pimpinan MUI.
Dalam RUU HIP ini MUI menolak Pancasila diperas menjadi Trisila, lalu menjadi Ekasila yakni “Gotong Royong”. Bagi MUI, ini nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila itu sendiri.
“Dan secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945, serta menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Dewan Pimpinan MUI Pusat yang ditandatangani Wakil Ketum KH Muhyiddin Junaidi, Sekjen Dr Anwar Abbas, MM, yang diikuti oleh Dewan Pimpinan MUI 34 Provinsi itu.
MUI menilai, ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Tahun 1945 sebagai Dasar Negara, sehingga bermakna pula sebagai pembubaran NKRI yang berdasarkan pada 5 Sila tersebut.
Karena itu, MUI meminta kepada Fraksi-Fraksi di DPR RI untuk tetap mengingat sejarah yang memilukan dan terkutuk yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia, terutama peristiwa sadis dan tak berperikemanusiaan yang mereka lakukan pada Tahun 1948 dan Tahun 1965 khususnya.
“Namun pasca reformasi para aktivis dan simpatisan (PKI) telah melakukan berbagai upaya untuk menghapus citra buruknya di masa lalu dengan memutarbalikan fakta sejarah dan ingin kembali masuk dalam panggung kehidupan berbangsa dan bernegara,” lanjut maklumat itu.
Menurut MUI, keberadaan RUU HIP patut dibaca sebagai bagian dari agenda PKI dalam memutarbalikan fakta sejarah dan sebuah upaya untuk kembali masuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Sehingga wajib RUU HIP ini ditolak dengan tegas tanpa kompromi apapun,” bunyi maklumat tersebut. (mus)