Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
Sudah saatnya umat Islam segera bangun melemparkan selimut yang selama ini membuat mereka hidup di alam mimpi dan lamunan menggapai angan-angan lewat janji-janji palsu yang sudah sangat lama meninabobokan umat.
**
SALAM-ONLINE: Sungguh sangat Ironis, kendati umat Islam mayoritas dan sangat besar jasa dan sumbangsihnya bagi kemerdekaan Republik ini, kini keberadaannya acapkali hanya menjadi Maf ‘ul “obyek” sejarah. Sedikit sekali “jika pun ada” perannya di posisi Fa’il “subyek” yang menentukan dan mewarnai perjalanan sejarah bangsa saat ini.
Di awal kemerdekaan saja, umat Islam sudah dipaksa harus rela kehilangan prinsip y*ang sangat mendasar, dengan dihapusnya Piagam Jakarta yang hanya berumur 57 hari, yaitu kalimat dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sejak zaman orla, orba sampai zaman reformasi, nasib umat mayoritas ini sering diperlakukan bak minoritas yang harus rela kehilangan sekian banyak haknya, demi memenuhi keinginan kelompok yang benar-benar minoritas dengan dalih toleransi yang didefinisikan dan ditafsirkan secara sangat tidak adil.
Sementara penguasa dan partai pemenang dalam pemilu tidak dianggap intoleran dan melanggar asas-asas demokrasi, ketika memaksakan ambisinya dalam berbagai aturan dan kebijakan. Baik di Legislatif, eksekutif bahkan juga yudikatif, acapkali dirasakan bertolak-belakang dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang dinyatakan “kalah” dalam pesta demokrasi yang kental dengan berbagai tipu-daya dan kecurangan.
Di saat kampanye pilpres, pileg, pilkada, dan sebagainya, umat, khususnya para Ulamanya tidak sedikit yang diintimidasi, dicari-cari bahkan direkayasa seakan-akan melakukan kesalahan. Terutama sekali para ulama yang diperkirakan memiliki pengaruh besar terhadap umat dan sulit untuk dikendalikan oleh pihak yang sedang memilki kekuasaan. Atau dengan cara kotor lainnya, di antaranya dengan menyematkan gelar radikalisme, ekstremisme dan gelar-gelar lainnya untuk menjauhkan sang Ulama dari umatnya.
Sementara para Ulama yang dinilai lunak dan mudah untuk dikendalikan, disanjung dengan gelar kelompok Islam moderat, dimanjakan sambil diiming-imingi janji-janji manis. Bahkan ada juga yang langsung diberi amplop, yang berita berikut fotonya kemudian viral di media massa. Terasa begitu sangat memalukan dan menjijikan.
Tidak sedikit juga para kiai di pesantren yang kemudian dibuat sibuk setiap hari melayani mereka yang berambisi meraup kekuasaan. Mereka datang silih berganti ke Pesantren untuk mengumbar janji.
Bahkan di antara mereka ada juga yang non-Muslim yang datang dari unsur parpol. Mereka selama ini jangankan memperjuangkan aspirasi dan membela kepentingan umat Islam, bahkan mereka selalu tampil digarda paling depan dan juga paling nyaring suaranya dalam menghentikan setiap langkah dan upaya mewujudkan norma-norma Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Begitu pesta demokrasi usai dan ambisi kekuasaan sudah didapat, maka bak pepatah “Habis manis sepah dibuang”, nasib umat pun tak ubahnya sampah yang dibiarkan berserakan. Alih-alih menikmati berbagai hak untuk hidup dengan iklim yang Islami sesuai dengan keyakinan, bahkan tidak sedikit di antara mereka yang menuntut haknya kemudian berujung dikriminalisasikan.
Keberadaan umat Islam yang mayoritas namun bernasib tragis seperti ini, sudah sangat mendekati sinyalemen yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bak makanan siap saji yang tengah diperebutkan oleh mereka yang sangat rakus dan lapar.
Digambarkan, setiap orang, baik secara pribadi atau melalui kendaraan partai, berupaya dengan cara dan gaya masing-masing untuk memakan hidangan spesial bernama umat Islam.
Sudah seharusnya ummat Islam memetik ‘Ibrah “hikmah dan pelajaran” dari pengalaman pahit selama ini, agar di kemudian hari tidak lagi harus jatuh di lubang penderitaan dan kekecewaan yang sama.
Umat Islam harus pandai membaca mana partai penjilat, penipu dan pengkhianat. Yang memanfaatkan suara umat hanya semata-mata untuk mengejar dan mewujudkan ambisi pribadi dan kelompoknya. Setelah berkuasa malah menyudutkan Islam dan kaum Muslimin.
Atribut Islam dalam suatu partai tidak selamanya juga menjamin jika partai tersebut akan memperjuangkan aspirasi umat Islam. Terbukti di antaranya dengan sikap kemunafikan mereka memberikan dukungan terhadap calon gubernur non-Muslim yang ditentang umat—yang secara hukum terbukti bersalah karena menghina dan menodai kitab suci Al-Qur’an.
Juga dukungan yang penuh terhadap Perppu nomor 1 tahun 2020 dan RUU HIP yang sangat ditentang keras oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya para Ulama dan ormas-ormas Islam.
Sudah saatnya umat Islam segera bangun melemparkan selimut yang selama ini membuat mereka hidup di alam mimpi dan lamunan, menggapai angan-angan lewat janji-janji palsu yang sudah sangat lama meninabobokan umat.
Para Ulama, terutama yang tidak terikat langsung dalam ormas Islam tertentu, hendaknya tidak lagi berjihad nafsi-nafsi, “berjuang masing-masing“. Tapi berupaya membangun kebersamaan dalam satu Shaff wal khiththah “satu barisan dalam kesamaan visi dan misi” dengan merangkul semua pihak yang masih berada dalam shirotol mustaqiim. agar i’tishom, “bersatu” dalam manhaj Al-Qur’an-As-Sunnah dan sesegera mungkin berhenti dari menyanyikan lagu lama, membesar-besarkan perbedaan furu’iyyah.
Persatuan yang kal jasadil wahid, “bagaikan satu tubuh“. Susah dan derita dirasakan bersama, senang dan bahagia juga dinikmati bersama.
Bersatu dalam menyatakan haram hukumnya mendukung dan membesarkan partai yang selama ini menjadi wadah berkumpulnya tokoh-tokoh liberalisme, sekularisme, aliran sesat dan kader-kader PKI yang tak henti-hentinya berupaya membangkitkan kembali PKI, di antaranya lewat RUU HIP.
Pada saat yang sama, siap mendukung dan membesarkan partai yang selama ini telah teruji Istiqamah memperjuangkan kebenaran dan aspirasi umat Islam, bagi kepentingan Agama, Bangsa dan Negara.
Bangkitnya Neo PKI dan semakin merajalelanya paham sekularisme, liberalisme dan aliran-aliran sesat seperti Syiah yang sangat berbahaya bagi akidah dan keutuhan NKRI, sudah cukup menjadi hujjah. Hujjah untuk menetapkan hukum wajibnya setiap Muslim menyatukan derap langkah yang sama dalam menghadapi setiap upaya mereka yang ingin merusak tatanan kehidupan beragama dan bernegara di Republik yang sama-sama kita cintai ini.
Merdeka! Allahu Akbar!
*) Ketua Umum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)