Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Gara-gara bermain di tataran ideologi dengan mengusung Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang oleh masyarakat dipandang berbau komunis, maka PDIP menjadi sorotan sebagai penyebab.
Di samping rakyat, khususnya umat Islam yang mereaksi, Pemerintah melalui Menkopolhukam mulai bersikap kritis pada PKI dan Komunisme. Demikian juga dengan Trisila dan Ekasila yang menjadi muatan RUU HIP.
Entah ini blunder PDIP atau terciumnya permainan halus “oknum dalam” yang memanfaatkan kekuatan mayoritas di Parlemen, nyatanya penetapan RUU tersebut telah menimbulkan kegaduhan politik.
Di Parlemen sendiri fraksi-fraksi yang asalnya telah sepakat menyetujui RUU bisa-bisa “balik badan” melihat gelombang besar penolakan. Parpol harus berhitung. Citra mendukung “PKI” atau “Komunisme” dinilai merugikan dan berbahaya.
Mahfud MD sang Menko sudah mulai teriak soal sinyal sikap Pemerintah yang akan berupaya agar Tap MPRS No. XXV tahun 1966 masuk sebagai konsideran RUU. Begitu juga konon soal Pancasila, Trisila dan Ekasila akan dimasalahkan bahkan ditolak. Artinya akan ada revisi dari tim Pemerintah.
Teriakan Mahfud menunjukkan perubahan konstelasi. Apakah itu suara pribadi Mahfud yang mengerti Hukum Tata Negara atau representasi Pemerintah, masihlah samar. Bapak Joko Widodo sendiri seperti biasa, tetap diam. Sunyi senyap. Mungkin bila ia didesak jawabnya, “Jangan tanya saya, itu urusan Menteri.”
Jika serius Pemerintah menolak, maka masalah beratnya ada pada PDIP. Apakah PDIP bisa “legowo” untuk mengalah pada suara rakyat yang gencar menolak ataukah sebaliknya “marah” pada Pemerintah yang tidak membela atau seakan membelot?
Politik adalah kumpulan kemungkinan dari kepentingan. Bila responsnya adalah marah, maka bukan mustahil isu “haram” pemakzulan bisa menjadi “halal” sejalan dengan suara dunia akademik maupun masyarakat yang bersikap kritis.
Kuatnya gelombang penolakan terhadap RUU HIP sangat berpengaruh pada orkestra Pemerintah dan PDIP. Suara Pemerintah mungkin seperti apa yang telah disampaikan Mahfud MD.
Sementara PDIP mulai goyah atas pendiriannya. Partai-partai di Parlemen juga berpikir ulang jika harus bertabrakan dengan aspirasi rakyat. Ini menyangkut suara masa depan.
Jika jalan yang diambil adalah Tap MPRS XXV/MPRS/1966 “terpaksa” dicantumkan pada Konsideran RUU, lalu klausul Pancasila, Trisila dan Ekasila dihapus, maka gagal-lah misi PDIP dan para konseptor “kiri” yang bermain.
Rakyat Indonesia melihat hal ini sebagai percobaan kudeta ideologis yang akan gagal akibat kuatnya penolakan rakyat. Padahal parlemen sendiri awalnya berhasil dilumpuhkan.
Tetapi masalah tetap ada. Pertama, posisi agama apakah dikembalikan menjadi penting atau tidak. Masihkah disejajarkan dengan kebudayaan? Kedua, keberadaan HIP dalam sebuah UU bukan sebagai Tap MPR apakah tepat atau tidak?
Jika dua hal ini belum terklarifikasi maka UU HIP kelak masih saja menjadi masalah kerakyatan dan keumatan. Perlu diketahui bahwa semangat aspirasi adalah penolakan, bukan revisi.
Di sisi lain jika Pemerintah dan DPR abai terhadap aspirasi yang muncul masif dengan tetap memaksakan menetapkan RUU HIP menjadi UU, maka bukan tidak mungkin isu politik rakyat akan bergeser dan mengarah pada pembubaran PDIP dan Pemakzulan Presiden.
Artinya, dapat terjadi kegaduhan politik yang lebih serius. PDIP harus berpikir matang dan sehat. Mengalah adalah pilihan rasional.
Jika tidak, pasti akan babak belur. New normal praktiknya menjadi new tidak normal atau “crash landing”. Politik yang semakin karut marut.
PKI dan Komunisme masih terus menjadi gelindingan bola salju. RUU HIP hanya usaha kudeta ideologi oleh kader PKI yang mungkin gagal.
Masih ada kasus TKA Cina dan hubungan dengan RRC yang belum terantisipasi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 23 Syawal 1441 H/15 Juni 2020 M