Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Rakyat mereaksi RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang dinilai berbau Komunis dan membuka peluang bangkitnya neo PKI. Sikap Pemerintah maupun DPR ditunggu masyarakat. Apakah DPR akan mencabut melalui Paripurna Dewan atau Pemerintah menyatakan tidak akan melakukan pembahasan. Masyarakat pun masih berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI.
Namun, alih alih mengambil keputusan tentang RUU HIP, malah seenaknya Pemerintah mengajukan RUU baru yang diberi nama RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Enam Menteri menyerahkan naskah kepada Ketua DPR, yaitu Menkopolhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Mendagri Tito Karnavian, Menhan Prabowo Subianto, Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Penyampaian RUU dengan begitu saja jelas pelecehan pada rakyat oleh Pemerintah. Bahkan melecehkan DPR RI juga. RUU inisiatif Dewan belum disikapi resmi, usulan baru Pemerintah masuk. Pembuldozeran halus. Lucunya Dewan melalui Ketua Puan Maharani sangat bahagia.
Sekurangnya ada empat hal yang menunjukkan adanya kesewenang-wenangan dan pengabaian hukum, yaitu:
Pertama, status RUU HIP harus terlebih dahulu jelas dan memiliki kepastian hukum akan kelanjutannya. Pemerintah masih “menunda” dan DPR masih “menunggu”. Ujungnya dibiarkan “mengambang”. Penyelenggaraan negara model apa seperti ini.
Kedua, RUU BPIP sebagai ajuan Pemerintah adalah RUU baru yang semestinya masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan terjadwal. Tidak boleh “menyalip” RUU yang sudah terlebih dahulu “antre”. Ini adalah contoh buruk budaya “main labrak”. Pemerintahan preman.
Ketiga, mengapa mesti empat Menteri mengantar RUU BPIP ini? Secara prosedural cukup diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM saja. Pola “unjuk kekuatan” atau “unjuk kekuasaan” dengan mengutus empat Menteri menggambarkan situasi “disorder” atau “tidak normal”.
Keempat, RUU BPIP tetap kontroversial sebab membalikkan prinsip hukum yang benar. Ironi sebuah Undang-Undang dibuat untuk mengatur “wadah” yang lebih dahulu ada. Semestinya Undang-Undang dahulu baru dibuat wadah untuk melaksanakan Undang Undang. Ada “pemaksaan” dan dipastikan berkonten “tidak aspiratif”.
Keberadaan BPIP masih dipertanyakan urgensinya. Desakan agar BPIP dibubarkan juga cukup keras terdengar. BPIP bukanlah kebutuhan “pokok” bagi rakyat saat ini. Lebih pada pemenuhan hasrat penguasa sendiri dan dapat menjadi “mainan ideologi” Pemerintah.
Harusnya Pemerintah dan DPR “colling down” berkaitan dengan RUU HIP yang berbau komunisme tersebut. Sangat kuat tuntutan untuk melakukan pengusutan dugaan adanya penyusup “makar ideologis” RUU HIP. Lakukan proses politik dan hukum terhadap oknum yang “menunggangi” situasi.
Pemerintahan Preman adalah Pemerintah yang abai pada prinsip-prinsip Pemerintahan yang baik. Pemerintah yang menganggap enteng aspirasi rakyat. Pemerintah yang mengacak -acak wibawa wakil rakyat. Pemerintah yang memerintah dengan kekuatan alat pemaksa, memperalat ideologi, serta memanipulasi hukum.
BPIP dan RUU BPIP adalah wujud pemaksaan dan keburukan dari rezim yang “false governance”, “false public policy” dan “false authority”. Itulah rezim Joko Widodo.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 Dzulqo’dah 1441 H/17 Juli 2020 M