Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Semangat untuk membatalkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) luar biasa besar. Pemerintah dan DPR tidak akan berani mengambil risiko untuk memaksakan pembahasan RUU “berbau Komunis” ini.
Rakyat akan melawan dengan desakan yang lebih kuat. MUI telah mengultimatum dengan membebaskan umat berbuat menurut ijtihadnya. Mungkin pula MUI mengeluarkan semacam resolusi jihad.
Akhirnya wacana muncul untuk mengganti menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU PIP) bahkan terakhir menjadi RUU Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Mungkin untuk sekadar memberi payung hukum Badan “jadi-jadian” bentukan Presiden tersebut.
Mengganti RUU itu tidak sederhana dan cukup sekadar ganti “judul” saja. Ada aturan hukumnya. Harus masuk dalam prolegnas yang baru. Ini bukan revisi parsial dari konten, tetapi perubahan substansi.
Penggantian RUU kaitan ideologi Pancasila masih akan menimbulkan masalah, antara lain:
Pertama, mubazir, karena ternyata BPIP yang dipimpin figur tidak kompeten Yudian Wahyudi hanyalah tempat menampung tokoh-tokoh yang diduga sulit untuk bekerja maksimal. Dewan Pembina terkesan hanya pajangan atau “pengkaryaan” tokoh di usia tua.
Kedua, aneh secara hukum karena keberadaan sebuah lembaga dijalankan dahulu untuk kemudian dicarikan payung hukumnya. Semestinya sebuah lembaga adalah instrumen pelaksanaan dari aturan hukum. Bahkan ironisnya penguatan aturan BPIP itu justru di tengah wacana atau desakan agar BPIP dibubarkan.
Ketiga, jika dianggap telah ada Perpres yang mengatur BPIP lalu dibutuhkan sebuah Undang-Undang, maka dalam hal ini justru telah terjadi penjungkirbalikan hukum. Mestinya Undang-Undang dahulu baru Perpres. Perpres itu untuk melaksanakan Undang-Undang.
Keempat, dipaksakan dan sekadar agar tidak “loosing face” dalam mengantisipasi RUU HIP yang telah babak belur bahkan hancur. Tidak ada kebutuhan mendesak atas keberadaan RUU pengganti ini. Keterpaksaan dalam pembuatan aturan hanya menjadikan hukum sebagai ajang permainan.
Kelima, kalaupun dibuat, maka RUU PIP atau BPIP adalah RUU baru. Karenanya harus mengikuti prosedur pengajuan sebuah RUU. Untuk RUU seperti ini lebih layak menjadi RUU usulan Pemerintah bukan inisiatif Dewan. Hanya itu, bahwa RUU ini harus masuk terlebih dahulu dalam Prolegnas, bukan datang “ujug-ujug”.
Melihat tidak urgennya keberadaan BPIP dan ketentuan setingkat UU yang mengaturnya maka konsistensi publik akan sejalan dengan penolakan RUU HIP. Oleh karenanya tuntutan terhadap rencana adanya penggantian RUU ini pun sama saja, yaitu “Tolak RUU PIP atau BPIP” dan “Bubarkan BPIP”.
Bermain-main di atas ideologi hanya membuat gaduh bangsa dan negara. Nampaknya rezim ini gemar membuat gaduh. Rezim yang selalu menyusahkan rakyat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 17 Dzulqo’dah 1441 H/8 Juli 2020 M