Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Buronan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko S Tjandra akhirnya “tertangkap” di Kuala Lumpur Malaysia. Uniknya tertangkapnya Djoko didahului dengan terbongkarnya kasus memalukan Mabes Polri, yakni penerbitan Surat Jalan sehingga seorang buronan bisa keluar masuk Indonesia. Kolusi dengan koruptor tentu sangat mencoreng kesatuan Kepolisian.
“Korban” dari perilaku Djoko S Tjandra ini sekurangnya tiga Jenderal Polisi dicopot yaitu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, Irjen (Pol) Napoleon Bonaparte dan Brigjen (Pol) Nugroho Slamet Wibowo. Yang terberat tentu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo sebagai pejabat Bareskrim yang menerbitkan Surat Jalan untuk Djoko Tjandra.
Publik dapat menilai penangkapan cepat Djoko disebabkan tertekannya Mabes Polri akibat terbongkarnya kasus yang berakibat pada pencopotan Pati. Andai tidak terjadi hal itu diduga akan sulit untuk menangkap Djoko. Ia akan terus “dibiarkan” buron dan bebas keluar masuk Indonesia.
Peristiwa ini menambah buruk citra kinerja aparat penegak hukum. Bukan hanya Kepolisian tentunya. Semua institusi yang terlibat. Penyalahgunaan kekuasaan semestinya bersanksi hukum berat agar ada efek jera. Tanpa sanksi yang berat dipastikan peristiwa seperti ini akan terjadi berulang.
Kasus Djoko Tjandra ini jelas harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh aparat penegak hukum.
Ada tiga langkah yang dapat diperhatikan dalam perbaikan menyeluruh, khususnya di instansi Kepolisian agar terpulihkan citra kinerjanya, yaitu:
Pertama, hentikan gagasan “democratic policing” yang implementasnya menjadi multi fungsi Polisi—dimana polisi menempati berbagai jabatan strategis. Ini mengingatkan dahulu pada masa Orba dengan Dwi Fungsi ABRI. Akar dari penyimpangan politik.
Kedua, menyadari bahwa fungsi Kepolisian sebagai “alat Negara” bukan “alat Pemerintah”. Jika sebagai alat Pemerintah maka Kepolisian merupakan penegak hukum yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan politik Pemerintah yang dinilai semakin pragmatis dan tidak demokratis.
Ketiga, mengubah kebijakan diskriminatif. Kita semua tahu jika Polisi menangani kasus yang dilakukan oleh pengkritik Pemerintah maka cepat proses hukumnya. Sebaliknya jika pelakunya adalah pendukung Pemerintah, bukan saja lambat, tetapi dipastikan segera menguap. Diskriminasi harus diakhiri.
Kasus Djoko Tjandra menjadi pelajaran penting bangsa untuk kembali mewaspadai bahaya “KKN”, bukan hanya “Korupsi”. Kini nampaknya mulai hilang dua nomenklatur “Kolusi” dan “Nepotisme”. Akibatnya terjadi kolusi masif antara Pemerintah beserta “alatnya” dengan para pengusaha atau “cukong-cukong”. Begitu juga marak politik dinasti seperti kasus Gibran dan lainnya.
Perlu untuk segera menguatkan landasan hukum bahwa “kolusi” dan “nepotisme” adalah suatu kejahatan atau tindak kriminal. Sebagai Implementasi dari Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 dan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/2001. Undang-Undang harus segera dibuat.
Munculnya kasus “kolusi” Djoko S Tjandra dan “nepotisme” seperti dalam kasus Gibran adalah momentum perbaikan itu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 11 Dzulhijjah 1441 H/ 1 Agustus 2020 M