Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE: Merasa tertekan akibat Muhammadiyah, NU dan PGRI menarik diri dari Program Organisasi Penggerak (POP) bernilai 600 Miliar, maka Menteri Pendidikan merilis permohonan maaf kepada tiga organisasi besar yang bergerak di bidang pendidikan tersebut. Nadiem juga bertandang ke PP Muhammadiyah Jakarta, diterima Sekum PP Muhammadiyah DR Abdul Mu’thi dan lainnya.
Program “asal-asalan” Nadiem patut dikritisi tajam. Berujung pada hengkangnya Muhammadiyah, NU dan PGRI. Bagaimana tidak, ketiga organisasi pendidikan besar tersebut ternyata disejajarkan dengan organisasi abal-abal sekelas “bimbel”. Ironisnya ada dana Rp 20 Miliar yang dialokasikan kepada Yayasan milik dua konglomerat, Sampoerna dan Tanoto.
Kini Nadiem, Menteri “anak kemarin”, yang seperti tidak paham pelaku pendikan “terdahulu” telah meminta maaf. Dari sisi etika tentu kita semua menghargai dan mengapresiasi permintaan maaf tersebut. Akan tetapi ini bukan ajang maaf-maafan lebaran atau baru saja Idul Adha.
Bukan soal apakah Muhammadiyah, NU atau PGRI memaafkan atau tidak. Ini persoalan bangsa. Persoalan ketidakmampuan Nadiem dalam mengemban amanat pengelolaan pendidikan nasional. Inovasi yang nyatanya berbasis acak-acakan.
Mundurnya tiga organisasi besar melengkapi kritik sejak awal kepada Menteri “bukan bidangnya” tersebut. Harus dibaca sebagai ketidakpercayaan publik. Nah berdasarkan Tap MPR No VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka penyelenggara negara yang sudah kehilangan kepercayaan publik hendaknya mengundurkan diri. Demi menjunjung etika.
Nadiem sebaiknya cepat mengundurkan diri untuk integritas dan masa depan yang masih panjang. Anak muda yang berprestasi yang tercemar oleh pergulatan politik oligarkhis dan kapitalistik. Mundur adalah pembersihan sekaligus rintisan dari penghargaan terhadap peraturan perundang-undangan. Di tengah habitat rezim yang rendah rasa peduli dan bermuka tebal.
Nadiem dapat kembali menata usahanya yang juga terdampak akibat Covid-19. Membangun kreasi baru yang solutif. Perusahaan start-up yang perlu penanganan serius dan menjadi model usaha anak muda Indonesia. Di sinilah bidang subur Nadiem. Jabatan Menteri Pendidikan di samping belum waktunya juga nampaknya menjadi lebih pantas untuk orang lain.
Saatnya untuk menetapkan pilihan antara terjebak di kubangan kepentingan politik permainan atau keluar menata integritas dan kapasitas diri. Sumbangsih bagi negara bukan ngeyel dalam ketidakmampuan, tetapi mundur dari jabatan.
Rakyat menunggu Nadiem Makarim, anak muda yang siap menjunjung tinggi etika, bukan pendukung paham “ngeyelisme”.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 14 Dzulhijjah 1441 H/4 Agustus 2020 M