Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA
SALAM-ONLINE.COM: Salah satu dari lima “Maqoosid Syari’ah” (tujuan utama Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan syariat Islam), adalah untuk “Hifzhun nafs” (melindungi nyawa/jiwa). Nyawa bukan milik seseorang, tapi ia merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena nyawa itu amanah, maka betapa sangat murkanya Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap mereka yang mengkhianati amanah ini dengan membiarkan dirinya binasa. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah memberikan peringatan keras, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan,” (Q.S Al-Baqarah: 195).
Yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih murka lagi adalah manakala seseorang dengan sengaja menghilangkan nyawanya dengan bunuh diri. Ancaman bagi yang bunuh diri sebagaimana dikemukakan dalam banyak hadist, kelak mereka ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengulang-ulang tindakan yang sama di neraka jahannam, selama-lamanya.
Yang paling membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih murka lagi adalah ketika seseorang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dengan membunuhnya. Di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dosa orang yang bersangkutan sama dengan membunuh seluruh umat manusia (Q.S Al Maa-idah: 32).
Dari kedua prinsip ini lahirlah kaidah “Laa dhoror walaa dhiroor”, tidak dibenarkan membinasakan diri sendiri dan/atau mencelakakan orang lain.
Sayangnya masih banyak anggota masyarakat di negeri ini, termasuk yang mengaku Muslim yang tidak menyadari atau dengan sengaja melalaikan prinsip ajaran Ilahi yang sangat manusiawi ini.
Kendati sudah lebih dari 257.000 yang terkena virus Covid-19, masih saja kita jumpai di masyarakat mereka yang kurang atau bahkan tidak mempedulikan protokol kesehatan.
Mereka tidak menyadari sikap tersebut bisa berakibat membinasakan diri sendiri dan/atau mencelakakan orang lain.
Jumlah yang meninggal dunia karena covid-19 per tanggal 23 September 2020 di Indonesia telah mencapai 9.977 orang.
Bayangkan jika yang meninggal ini akibat kelalaian dari masing-masing yang berakibat membinasakan diri sendiri yang juga berpotensi mencelakakan atau membinasakan orang lain.
Lebih tidak terbayanglan lagi, bagaimana nasib para pemimpin, jika jumlah meninggal dunia yang mendekati 10.000 itu disebabkan di antaranya karena ketidakmampuan dalam menangani atau karena kelalaian dalam menentukan kebijakan, karena lebih mendahulukan faktor ekonomi. Padahal tanpa adanya Covid-19 sekalipun sudah diduga keadaan ekonomi negeri ini akan menghadapi krisis. Atau lebih mengutamakan faktor politik dengan memaksakan pilkada serentak 2020 “sesuai jadwal”, meskipun berbagai kalangan seperti MUI, PBNU, PP Muhammadiyah, KAMI, PMI telah mengingatkan bahkan mendesak agar ditunda demi menyelamatkan nyawa rakyat.
Pertanyaannya, jika membunuh satu orang dosanya sama dengan telah membunuh semua manusia, bagaimana dengan 10.000 nyawa? Siapkah pemikul amanah di negeri ini mempertanggungjawabkannya di Yaumil Hisab nanti? []
*) Penulis Ketua Umum ANNAS Indonesia