Catatan Buya Gusrizal Gazahar Dt. Palimo Basa*
SALAM-ONLINE.COM: Riak yang ditimbulkan oleh pernyataan Puan Maharani agar Sumatera Barat (Sumbar) mendukung Pancasila, ternyata bersusun menjadi gelombang yang disambut oleh badai yang menghadang sehingga sauh yang sudah terkaitkan, terpaksa harus diangkat kembali.
Nakhoda memerintahkan putar haluan. Kapal tak jadi berlabuh karena pelabuhan juga enggan menerima. Itulah dahsyatnya dampak dari kata-kata. Apalagi bagi masyarakat Minangkabau.
Memahami bahasa yang tersirat merupakan “kepiawaian” yang terasah semenjak pandai berkata-kata. Orang Minang terlatih melihat “bayangan kata” yang meliputi cakupan dan rangkaian dari makna kata serta isyarat dari kata yang meliputi mafhum baik mukhalafah maupun muwafaqah.
Dengan kepekaan yang telah mendarah-daging tersebut, tidaklah rumit bagi masyarakat Minang untuk memahami kalimat Puan.
Karena “bayang kata” Puan bukan dalam kategori yang tersuruk dari yang tersirat, tapi sebatas yang tersirat dari yang tersurat. Bahkan kalau diperjelas lagi, ia adalah makna implisit dalam kedudukan eksplisit.
Menyuruh orang Sumbar mengikuti Pancasila, tak bisa dihindari dari dua keadaan yang tercetak dalam pikiran Puan. Orang Sumbar selama ini belum ikut Pancasila atau Orang Sumbar telah ikut Pancasila, tapi bukan Pancasila dalam konsep Puan dan Partainya.
Dalam konteks demikian, maka kalimat Puan tidaklah bisa dipahami sebagai bagian dari penegasan bahwa Puan mengakui Pancasilaisnya orang Sumbar.
Menggeser pernyataan Puan ke dalam “arahan internal partai”, malah semakin menegaskan bahwa memang berbahaya indoktrinasi yang dijalankan dalam partai Banteng itu tentang Sumbar! Ke mana pun akan dialih, tidak akan menyelamatkan! Kata sudah terucap dengan susunan yang tidak bijak dan bunyi bertingkah tak harmonis serta di tempat yang tidak patut dan layak.
Apakah reaksi masyarakat Minang di ranah dan di rantau bisa dikategorikan “berlebihan” terhadap pernyataan Puan? Saya melihat, “tidak”. Bahkan itu adalah reaksi yang “wajar” dan “sepatutnya demikian”.
Walaupun ada yang memperhalus reaksi itu dengan memakai pituah “bersilang kayu dalam tungku, makanya api hidup”, namun pituah itu tak dipahami oleh yang mengucapkannya. Perhatikanlah kata demi kata pituah tersebut dan fokus dengan kalimat “dalam tungku”!
Pernyataan Puan bukan dalam kategori “dalam tungku”, tapi sudah “di luar tungku”! Begitu pula contoh-contoh adanya tokoh-tokoh yang saling berseberangan di ranah Minang, termasuk tokoh komunis. Jangan dilihat sebatas itu!
Sejauh yang berseberangan itu tidak bertikai pada fondasi dasar “Keminangan”, orang Minang sangatlah berlapang dada dalam perbedaan pandangan. Tapi bila perbedaan itu menyentuh perkara prinsip, padamlah nama itu dalam catatan masyarakat Minang, walaupun dalam catatan sejarah, mereka tetap tertulis. Karena itu, orang Minang akan menyebut tokoh-tokoh komunis yang pernah ada di Minangkabau dengan menyunggingkan sebelah ujung bibir mereka.
Kenapa reaksi masyarakat Minang begitu keras terhadap pernyataan Puan?
Karena nilai-nilai Pancasila bagi Minangkabau telah menjadi pakaian hidup sebelum dia menjadi dasar negara. Karena itu masyarakat Minangkabau memiliki tafsir Pancasila yang telah teruji sepanjang sejarah perjalanan bangsa.
Tafsir itulah yang mengisi dada para pejuang Minang, mulai dari Harimau Nan Salapan, Tuanku Imam Bonjol, Angku Hatta, Inyiak Agus Salim, Muh. Yamin, Sutan Syahrir, Buya Hamka, Buya Natsir dan lainnya.
Lima nilai mendasar yang ada di dalam Pancasila itu adalah pakaian Minangkabau. Ketauhidan, kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan dan Keadilan merupakan fondasi sosial masyarakat Minang. Menyangsikan ketundukan masyarakat Sumbar yang merupakan daerah berpusatnya masyarakat Minang kepada nilai-nilai itu, sama saja menuduh mereka terlepas dari ciri khas keminangan mereka.
Ada pameo yang terdengar di mana-mana “bila Minang sudah tanggal maka kabaulah yang tinggal”. Inilah yang menjadi pantangan hidup seorang Minang.
Jadi, ketika banyak orang di Nusantara mungkin membutuhkan jabaran dari Pancasila, masyarakat Minangkabau malah memandang Pancasila adalah rumusan dari yang telah dijabarkan oleh mereka dalam praktik kehidupan.
Bagi siapa saja yang memahami suasana batin tersebut, akan mengerti latar belakang kerasnya reaksi masyarakat Minang terhadap pernyataan Puan.
Bagaimana semestinya Puan dan para “parewa”nya menanggapi reaksi masyarakat Minang?
Saya pakai istilah “parewa” untuk menggambarkan mereka yang mencoba mendudukkan kalimat Puan tidak pada tempatnya karena yang dikedepankan mereka adalah “mahariek mahantam tanah”, bukannya “gayung bersambut, kata berjawab”.
Kalimat yang jelas maksud dan tujuannya, kalau dialihkan lagi tak lebih bagaikan “menegakkan benang basah”. Masyarakat sudah memahami dengan benar makna dan maksud dari kata dan mereka sudah paham “bayang kata sampai”.
Semestinya para “parewa” itu sudah memahami ungkapan: “Bakato Sapatah Dipikiri,
Bajalan Salangkah Madok Suruik” (Berkata separah dipikiri, berjalan selangkah berpeluang surut ke belakang).
Kalau kearifan “berkata sepatah dipikiri” telah tertinggalkan oleh Puan, maka kearifan kedua yaitu “berjalan selangkah menghadap surut” harus dipakaikan. Dengan mundurnya partai Banteng dari medan nan bapaneh dalam PILKADA Sumbar, itu sudah risiko yang harus ditempuh dan bukanlah pilihan yang punya alternatif lain.
Namun di balik itu, ada yang dilupakan oleh Puan dan “Parewa”nya bahwa “Kaki tataruang inai padahannyo, Lidah tataruang ameh padahannyo” (Kaki tertarung inai tebusannya, lidah tertarung emas tebusannya).
Sebagian masyarakat Minang ketika menyikapi pernyataan Puan, ada yang dengan bijak secara cepat berharap Puan bisa meminta maaf. Sayang sekali para “parewa” Puan malah bereaksi seolah-olah itu adalah seperti meminta “sisiak ka limbek” (meminta sisik kepada ikan lele).
Mereka lupa bahwa sebenarnya maaf itu bukanlah karena diminta, tapi kesadaran atas kesalahan yang melahirkan penyesalan dan membuahkan permintaan keridhaan dari orang yang dizalimi. Namun sayang, kesombongan dan kekentalan pertimbangan politik membuat “permintaan maaf” menjadi area terlarang bagi Puan dan para “parewa”nya.
Mereka lupa bahwa itu adalah saran dari mereka yang ingin agar “cabiak jan manjadi kuyak dan ratak jan sampai pacah” (sobek jangan sampai koyak, retak jangan sampai pecah). Mereka juga lupa bahwa maaf itu bukanlah “jatuah bajuluak” (jatuh karena dijuluk).
Akibat dari kelupaan tersebut, tampillah “parewa-parewa” dengan bahasa-bahasa “menegakkan benang basah” yang juga mengaku sebagai orang Minang. Tentu reaksi seperti itu bukannya “mengumpulkan yang terserak, merekat yang retak”, tapi malah semakin “memperseraikan yang terserak dan membuat percah berderai yang sudah retak”.
Bagaimana sikap masyarakat Minang menghadapi reaksi para “parewa” tersebut?
Masyarakat Minang telah mencoba menguji keadilan hukum negeri ini dengan mengadukan pelecehan Ade Armando terhadap Minangkabau. Proses hukum yang entah bagaimana geraknya?
Sering dipertanyakan kenapa masyarakat Minang diam saja setelah mengadu?
Berhati-hatilah dengan sikap diam tersebut! Karena dengan melaporkan kasus itu, orang Minang sedang mencoba dan menguji banyak hal. Diam di Minangkabau bisa lebih berdampak berat di kemudian hari. Pernahkan mendengar ungkapan, “diam mako bagarak, lumpuah mako bajajak” (diam makanya bergerak, lumpuh makanya berjejak).
Karena itu, setiap kata yang terlontar dari mulut para “parewa” Puan, tak akan dilayani lagi oleh orang Minang yang arif. Saatnya mengajari mereka dengan sikap dan perangai.
Ada ungkapan yang patut jadi renungan para “parewa” tersebut:
“Kok bagak, indak ka kami ajak bacakak. Kok cadiek, indak kami ka batanyo. Kok kayo, indak kami ka mamintak. Kok bagak, bagaklah surang. Kok cadiek, cadieklah surang.
Kok kayo, kayolah surang” (Kalau jagoan, tak akan diajak berantam. Kalau cerdik, tak akan ditanyai. Kalau kaya, tak akan dimintai. Jagoan, jagoan sajalah sendiri. Cerdik, cerdiklah sendiri. Kaya, kayalah sendiri).
Akibat yang timbul dari pengajaran dengan sikap dan perangai itu adalah “menganggap keberadaan Puan dan para ‘parewa’-nya seperti tiada atau wujuduhum ka ‘adamihim.
Menjadikan mereka bagaikan “mentimun bungkuk”. Dimasukkan ke dalam karung, tapi tidak masuk dalam hitungan.
Saya melihat, itulah buah yang memang patut dituai oleh mereka yang tegak dengan ego kepongahan tanpa memakai “raso jo pareso” (rasa dan periksa) sebagaimana tercakup dalam makna sila ke-2 Pancasila.
Akhirnya sebagai khitam, saya melihat peristiwa ini semakin membuktikan kebenaran firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ} [آل عمران : 118]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya,” (QS Ali ‘Imran 3: 118).
*Penulis: Ketua Umum MUI Sumatera Barat Periode 2015-2020
Editor: Tardjono Abu Muas