Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Ketuk palu pengesahan RUU Cipta Kerja bagian dari Omnibus Law oleh DPR di luar agenda awal cukup mengejutkan. Bukan kejutan prestasi tetapi kejutan pelecehan aspirasi.
DPR secara institusi mempermalukan dirinya sendiri. Ada yang bernada nyinyir menyebut DPR pimpinan Puan Maharani “pembunuh mic” sebenarnya memang sudah tidak punya rasa malu.
Di Medsos ada tayangan kalimat duka dari Senayan “Innaalillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun”. Semula dikira ada yang meninggal, ternyata yang wafat itu adalah “hati nurani” anggota Dewan.
Terlepas dari keberanian politik dan acungan jempol untuk dua fraksi yang menolak (F-PKS dan F-Demokrat), maka DPR untuk kesekian kalinya menyakiti rakyat. Ngotot untuk memutuskan dengan rekayasa yang terang benderang.
Dengan berat memang kita harus menilai bahwa DPR melakukan kebijakan licik dengan mengambil momen Covid-19 untuk memutus tergesa-gesa RUU kontroversial yang menimbulkan kemarahan rakyat, khususnya kelompok buruh. Dengan licik memindahkan waktu pengesahan dari rencana tanggal 8 menjadi tanggal 5 Oktober, dipastikan undangan kilat yang tidak layak untuk suatu persidangan penting.
Di samping licik, DPR juga pengecut karena menghindar dari aksi unjuk rasa buruh yang tersakiti. Agenda mogok nasional tanggal 6-7 dan 8 Oktober yang dibarengi dengan unjuk rasa terendus DPR, lalu mengantisipasinya dengan mempercepat Sidang Paripurna.
Nampaknya anggota Dewan Yang Terhormat gemetar ketakutan digeruduk massa aksi. Hit and run. Putuskan dan lari untuk sembunyi. Sungguh memilukan.
Rakyat akan semakin muak dengan perilaku licik dan pengecut seperti ini. Dewan tidak mampu menampilkan wibawa yang sesuai dengan kehormatan dari panggilannya. DPR lebih parah dari perannya di masa Orde Baru yang dicap tukang stempel. Eksekutif kini mengangkangi legislatif. Rakyat sedih dan marah harus membiayai mahal wakil-wakil yang dianggap mengkhianatinya. Stempel baru DPR adalah Dewan Pengkhianat Rakyat.
Ketika kedaulatan rakyat diabaikan dan menjadi bahan mainan serta sarana sekadar untuk mengeruk kekayaan, maka hancurlah kepercayaan. Omnibus Law yang tak lain adalah kemauan Pemerintah, telah menghancurkan hukum dan politik. Sejak awal, kongkalikong Pemerintah dengan DPR sudah dirasakan dan dilihat oleh rakyat.
Kini buruh marah dan elemen masyarakat lain memahami dan merasakan kemarahan tersebut. Kebodohan Pemerintah dan DPR akan terlihat akibatnya ke depan.
Selamat berjudi dengan aspirasi dan kepura-puraan demokrasi. Gumpalannya adalah “mosi tak percaya” di tengah pandemi dan resesi.
Siapa menabur angin akan menuai badai.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 19 Safar 1442 H/7 Oktober 2020 M