Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Musuh Fir’aun bukan Musa, sebab Musa tidak sekuasa Fir’aun yang serba punya dari mulai tentara, dana, infrasruktur, hingga paranormal. Fir’aun bisa menghukum siapa saja. Menuduh hoaks lawan pun bisa (QS Al Mu’min 37). Musa saja disebut sebagai pengganti agama dan pembuat kerusakan di muka bumi (QS Al Mu’min 26).
Saking merasa tak tertandinginya, Fir’aun sampai menyebut dirinya “Tuhan Yang Maha Tinggi” (QS An Nazi’at 24). Meskipun demikian Allah “Tuhan Yang Maha Tinggi” yang sebenarnya tetap memerintahkan Musa untuk menghadapi dan berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan. Fir’aun telah melampaui batas (QS Thaha 43).
Fir’aun ketakutan turunnya tahta dan runtuhnya singgasananya. Segala bentuk oposisi harus dibasmi. Musa dianggap sebagai pengganggu stabilitas negeri. Fir’aun tidak takut pada Musa, tetapi hanya takut bahwa dirinya kelak tidak berkuasa. Ia harus membuktikan dengan kemampuan menghancurkan Musa dan pengikutnya.
Fatamorgana kehebatan menguasai segala yang ada di hadapannya, termasuk “Jalan bebas hambatan” di samudera yang akhirnya menenggelamkannya. Nafsu berkuasa dengan penuh keserakahan berhadapan dengan diri sendiri. Musa hanya bayangan untuk mewujudkan murkanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala “Tuhan Yang Maha Tinggi” sedang mempermainkan “penguasa dunia” yang bingung, bodoh dan dungu.
Modelnya adalah anjing serakah yang sedang menggigit daging dan berada di atas jembatan. Merasa tertantang melihat ada anjing di bawah yang juga sedang menggigit daging dan sama menyeringai. Diterkamnya anjing “oposisi” dan byuuurr, masuk sungai. Tenggelam.
Sama dengan raja tikus yang melihat di sungai ada tikus besar saingannya. Ia lompat untuk berkelahi melawan tikus besar yang tak lain adalah bayangan dirinya sendiri. Itulah musuh terbesar yang hakikatnya sering mengalahkan keserakahan dan kebodohan penguasa.
Rezim mana pun, termasuk Pemerintahan Jokowi, bukan tandingan oposisi dengan segala unsur kekuatan dan genggaman kekuasaan. Semua bisa dikendalikan. Akan tetapi bayang-bayang selalu membuatnya cemas dan takut. Konkretisasi bisa HTI, FPI, juga KAMI bahkan MUI sebagai “lawan” yang sebenarnya hanya bayangan yang dibesar-besarkan saja.
Dahulu Fir’aun selalu dihantui oleh “nightmare” bahwa kekuasaannya akan jatuh. Musa dicurigai dan dituduh sebagai biang perusak negara. Mimpi buruk menjadi kenyataan dengan bukti kekuasaan Allah. Fir’aun terlambat menyadari dan telat pula untuk kembali (bertaubat).
Pintu taubat sudah tak ada lagi. Mati dengan penyesalan diri yang tanpa arti.
Wahai penguasa negeri, Presiden dan para Menteri, jangan ulangi perilaku Fir’aun ini. Karena tak ada kekuasaan yang tidak berganti. Hari ini jadi pejabat, besok menjadi rakyat. Hari ini dihormat, besok bisa habis-habisan dihujat. Taubatlah sebelum terlambat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 29 Safar 1442 H/17 Oktober 2020 M