Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: “Sampah demokrasi”. Itu adalah ucapan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Mochtar Ngabalin untuk menyebut peserta aksi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Ngabalin melontarkan kalimat itu saat Aliansi Nasional Anti Komunis (ANAK) NKRI, meliputi FPI, Persaudaraan Alumni (PA) 212, hingga Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama menggelar demo tolak Omnibus Law, Selasa (13/10/20).
Sampah demokrasi satu ungkapan cukup menyentak. Aksi unjuk rasa di masa Covid dinilai Ngabalin sebagai sampah demokrasi.
Sampah adalah barang sisa, bekas pakai, busuk dan tak berguna. Dikumpulkan dan dibuang di tempat sampah. Agar tidak berbau busuk biasanya sampah tersebut dibakar. Ungkapan sampah demokrasi tentu tidak layak terlontar dari orang berpendidikan. Hanya pantas diucapkan oleh “bukan anak sekolahan”.
Unjuk rasa bukan saja Hak Asasi Manusia, tetapi juga kegiatan mulia dan berani. Nilai universal memberi penghargaan atas hak berunjuk rasa. Hanya negara dan pemimpin pengecut anti demokrasi yang menumpas unjuk rasa.
Tidak ada sampah dalam hal yang baik meskipun itu dalam situasi berat. Ketika Covid-19 menghalangi, terobosan seperti unjuk rasa untuk suatu tujuan yang mulia adalah bentuk rela berkorban dan heroisme.
Ngabalin dengan sinis menekankan opsi Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai satu-satunya jalan hukum. Sepertinya langkah logis. Tetapi di samping adanya hak untuk meragukan integritas Hakim, juga MK kini sudah terkebiri untuk pasal eksekutorialnya.
Unjuk rasa tidak lain merupakan upaya politik yang dilindungi hukum untuk keluarnya sebuah produk politik atau hukum, Perppu misalnya. Atau mungkin saja Dewan menyadari bahwa putusan yang diambilnya itu cacat hukum sehingga terjadi perdebatan politik baru.
Omnibus Law adalah aturan yang berbahaya dan dapat merusak banyak aspek sosial kemasyarakatan. Karenanya wajar jika buruh, mahasiswa, ulama dan aktivis lainnya mereaksi hebat untuk mendesak pembatalan.
Yang dirasakan aneh Pemerintah ini bebal dan cenderung menafikan aspirasi rakyat. Bahkan melakukan banyak penangkapan. Akibatnya kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat menjadi terusik.
Janganlah seenaknya Tuan Ngabalin mengatakan bahwa unjuk rasa itu sampah demokrasi. Jangan-jangan kita sendiri yang sok apik itu sebenarnya adalah sampah.
Siapapun orangnya yang bergelantungan di pagar istana atau menjadi penonton semata maka bisa jadi ia adalah “sampah tirani” atau “sampah oligarkhi”. Dan yang lebih mendekati ya “sampah fulusi”.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 Safar 1442 H/14 Oktober 2020