Catatan Harits Abu Ulya*
SALAM-ONLINE.COM: Demo menolak Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Dan dalam demo kali ini juga tidak bisa dipungkiri terjadinya aksi anarkisme dari peserta aksi. Begitu pula tindakan yang over (tidak humanis) dari pihak kepolisian terhadap demonstran secara vulgar terekam.
Jagat media online maupun offline hiruk pikuk mendedah soal siapakah gerangan yang memicu demo menjadi rusuh anarkis itu?
Dari fakta-fakta di lapangan, rekaman video amatir, dan kesaksian banyak demonstran, terlihat jelas ada indikasi pihak-pihak yang kontra terhadap demonstrasi ikut serta dalam barisan aksi. Tentu keterlibatan mereka dengan agenda dan target yang berbeda.
Dan mereka yang kontra, pola gerakannya di lapangan mengesankan terorganisir. Menyusup di barisan demo dengan melakukan aksi provokasi yang bisa memicu rusuh dan anarkisme.
Ini sebuah kesimpulan sederhana berdasarkan pola gerakan dan dampak yang ditimbulkan. Dan lebih rasional lagi kalau dianalisis dari aspek target tujuan di balik penunggangan aksi tersebut kita akan menemukan relevansinya.
Tujuannya mudah terbaca:
Pertama, mencederai aksi yang mengusung tuntutan positif bergeser menjadi aksi anarkisme, dengan begitu citra aksi jadi negatif. Bahkan dukungan luas dari publik bisa berbalik mengecam. Di sisi lain malah memberi legitimasi bagi aparat untuk membubarkan demo, tindakan represif, bahkan berujung pada pemidanaan pelaku demonstrasi.
Kedua, aksi demo murni yang mengajukan tuntutan pada rezim Joko Widodo dengan mudah dipolitisir sebab anarkisme. Propaganda bahwa aksi ditunggangi kepentingan kelompok tertentu, misalkan dari barisan sakit hati, dan lain-lain dengan mudah bisa dibangun secara masif. Targetnya mendelegitimasi aksi demonstrasi.
Ketiga, pasca aksi demo sementara waktu biasanya cooling down dari para demonstran. Pada momen tersebut publik akan dialihkan perhatiannya kepada isu-isu sekitar aktor, motif politik demo, tindak pidana pelaku demo, kerugian material akibat kerusakan fasum, dan lainnya. Dan publik dikaburkan dari substansi utama yakni menolak kebijakan rezim yang dianggap zalim.
Jadi penunggang alias penyusup demo yang memprovokasi kerusuhan, menurut analisa saya, adalah justru elemen-elemen yang bekerja diupah untuk menjaga dan mengamankan rezim dengan segala agenda politiknya.
Karena rezim jelas tidak populer dengan produk-produk kebijakan (hukum) yang ditengarangi merugikan publik, bahkan lebih dari itu. Jelas sikon seperti itu sangat berisiko dan potensial menjadi hulu dari beragam kontraksi kehidupan sosial politik ekonomi dan keamanan.
Dan elemen tersebut bisa siapa saja, tidak menutup kemungkinan, adalah tangan-tangan gelap rezim atau loyalis yang mengabdi demi eksistensi rezim. Dengan energi yang dimiliki mendesain itu semua.
Saat ini kita berharap penanganan ekses demo oleh aparat Polisi harus hati-hati. Kalau ada bukti yang cukup terkait pidana maka perlu ditindak dengan adil dan bijak.
Tapi publik jangan lupa pokok persoalan. Akar masalahnya adalah rezim Joko Widodo yang terkesan “budeg”. Tidak peduli dengan tuntutan rakyat yang demo dan kritik intelek di ruang diskusi (gagasan) terkait UU Cilaka.
Sebagian rakyat yang kritis saat ini justru melihat rezim Joko Widodo terkesan tidak mau peduli dengan kritik masyarakat. Bahkan menampilkan kesan juwama dan bernafsu hendak melibas siapa pun yang dianggap menghalangi kepentingan politiknya. []
Ahad, 23 Safar 1442 H/11 Oktober 2020 M
*Penulis Pengamat Intelijen & Terorisme