Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Penetapan tersangka terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) dan lima orang lainnya adalah preseden buruk penegakan hukum negeri ini. Pada kekuasaan Joko Widodo inilah hukum ditegakkan suka-suka seleranya penguasa saja. Persoalan keadilan dan kezaliman, itu urusan nanti. Yang penting, tangkap saja dulu. Salah atau benar, juga itu urusan belakangan.
Model kegiatan serupa yang berfokus pada adanya kerumunan orang dalam jumlah banyak harusnya juga dapat ditetapkan sebagai tersangka. Pilkada sangat potensial untuk menetapkan banyak orang menjadi tersangka. Salah satunya adalah Pilkada Solo dimana Gibran bin Joko Widodo telah melakukan unjuk massa pendukung untuk berkerumun.
Begitu juga yang terjadi dengan Bobby Nasution, suaminya Kahiyang Ayu Siregar bin Joko Widodo. Bobby juga mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Mulai dari rangkaian kegiatan pra pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), sampai dengan pendaftaran di KPU dan kampanye-kampanye pasangan Bobby di pemilihan Wali Kota Medan.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa semua warga negara berkedudukan sama dalam hukum. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk kepada putra dan anak mantu Presiden, Gibran dan Bobby. Asas “equality before the law” itu berlaku universal untuk semua warga negara. Karenanya tidak berbeda antara HRS dengan Gibran dan Bobby Nasution.
Proses hukum juga harus diberlakukan kepada Gibran bin Joko Widodo dan Bobby Nasution dengan tuduhan sama seperti HRS. Tersangkakan Gibran bin Joko Widodo dan Bobby Nasution, serta orang-orang sekitarnya yang ikut menentukan terjadinya kerumunan dalam melanggar protokol kesehatan.
Masyarakat berhak bertanya, mengapa urusan Pilkada dibenarkan untuk berkerumun? Apakah karena dilakukan oleh pendukung dari kalangan partai politik penguasa? Mengapa kerumunan di pasar-pasar tradisional masih dibolehkan, mengapa acara pernikahan di tempat lain, meski dengan anjuran mengikuti protokol kesehatan tetap berkerumun, juga tidak ditersangkakan? Maksimum hanya ditegur.
Memang persoalan HRS dilihat penguasa bukan lagi masalah hukum. Tetapi persoalan stabilitas politik. Masalah represivitas penguasa dan keangkuhan politik terasa sangat dominan. Nah kini dalam kasus proses politik, maka hal yang membahayakan kesehatan masyarakat harus diberi sanksi pula.
Gibran bin Joko Widodo dan Bobby Nasution, mantu Joko Widodo, termasuk di dalamnya. Kegiatan dan proses politik yang nyata-nyata membahayakan keselamatan masyarakat. Karena itu harus ada pertanggungjawaban atas kerumunan para pendukung dalam kemenangannya. Apakah memang polisi mennganggap bahwa tidak ada pelanggaran protokol kesehatan pada kumpulan banyak orang yang dilakukan Gibran bin Joko Widodo dan Bobby Nasution?
Ketika ada pejabat beralasan bahwa kasus Gibran dan Bobby Nasution berada di bawah aturan UU Pilkada, sehingga jadinya berbeda dengan perlakukan kepada HRS. Jika demikian yang menjadi alasan, maka ini nyata-nyata pembodohan publik namanya. Sebab keduanya berada dalam kondisi yang sama, yaitu sedang musim pandemi Covid-19.
Bahwa yang satu diatur dengan UU Pilkada, maka yang lainnya juga diatur oleh UU Perkawinan. Jika diberlakukan UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai “Lex Specialis”, maka keduanya sama-sama dalam mendapatkan perlakuan hukum. Jika HRS ditersangkakan, maka layak untuk Gibran dan Bobby juga jadi tersangka.
Sebagai anak Presiden tentu tidak bisa dibedakan dan diringankan hukumannya. Malah seharusnya menjadi teladan, sehingga perlu diberatkan hukumannya. Pelanggaran atas asas “equality before the law” adalah pelanggaran juga terhadap UUD 1945. Artinya Presiden telah melanggar konstitusi negara.
Hanya satu pilihan opsional untuk keadaan ini, yaitu bebaskan HRS dari tuduhan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP, atau segera tersangkakan dan proses hukum Gibran bin Joko Widodo dan Bobby Nasution, suami Kahiyang Ayu Siregar bin Joko Widodo. Apapun yang ditimpakan kepada HRS, berlaku pula untuk Gibran dan Bobby.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 28 Rabi’ul Akhir 1442 H/13 Desember 2020 M