Catatan Imanuddin Kamil*
SALAM-ONLINE.COM: Setiap negeri punya cerita anomali. Setiap bangsa punya kisah ironi kegaduhan. Namun tidak semua negeri berhasil menyelesaikan kegaduhan bangsanya dengan baik. Dan tidak semua bangsa menyadari ironi negerinya lalu memperbaikinya.
Begitulah yang terjadi hari-hari ini di negeri ini. Ironi dan anomali terus dipertontonkan secara kasat mata. Mungkin yang nampak di permukaan hanyalah riak-riak dari gemuruh ombak besar di kedalaman. Seperti apa besarnya gelombang ombak di dasar sana tak ada yang tahu.
Akhirnya terhadap peristiwa yang membuat dahi ini mengerut, kita hanya bisa bertanya-tanya: ada apa sebenarnya dengan negeri ini? Apa sebenarnya yang tengah terjadi pada bangsa ini?
Ekonomi kian terpuruk, tapi pejabat tak berhenti korupsi. KPK panen OTT, tangkap sana tangkap sini. Utang negara sudah melangit tapi elite masih selap-selip cari untung selangit. Padahal hidup rakyat sudah lebih dari sulit. Dana bansos pun disilet, diembat pula.
Kontestasi demokrasi 2019 masih menyisakan utang bagi tatanan bangsa yang terancam koyak. Sampai saat ini rakyat masih saja saling caci, saling maki. Tapi anehnya yang ini dibully, yang itu dipuji. Yang sini diancam bui, yang sana bak orang suci. Padahal dua jagoan yang berkompetisi di ajang pesta lima tahunan saat ini sudah duduk satu meja. Akur berkoalisi tanpa risih. Sementara rakyat dibiarkan terus konfrontasi.
Katanya NKRI harga mati. Lalu khilafah menjadi kata haram di negeri ini. Berani ucapkan bisa-bisa diancam bui. Pelantun adzan jihad pun dicari-cari. Tapi Benny Wenda yang jelas-jelas mendeklarasikan kemerdekaan dan berlepas diri dari NKRI, para petinggi negeri hanya berdiam diri seolah tak sadar diri.
Dalam hal pandemi ini banyak soal tak terurus. Tapi tetiba semua serius urus-urus. Serempak berteriak kompak. Atas nama penegakan aturan pelanggaran disiplin, semua disalahkan. Kerumunan jadi dalih. Padahal sejak imbauan berdamai dengan Corona, kerumunan sudah terjadi di mana-mana.
Pilkada di 270 wilayah, kota dan kabupaten yang berpotensi kerumunan pun tetap saja digelar. Tapi kenapa hanya satu kerumunan saja yang membuat geger jagat negeri?
Kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat, menambah ironi dan anomali negeri ini. Sudah hampir satu bulan, tapi masih saja menjadi magnet berita yang setiap waktu digoreng tak habis-habisnya. Pejabat sudah dicopot, mulai kapolda, wali kota, kepala KUA sampai yang teranyar mau menyasar tukang tenda. Padahal sudah ada denda 50 juta.
Seantero negeri dibuat sibuk dan ribut. Begitulah kalau sudah dengki dan iri hati. Semua yang dibuat selalu jadi panas hati. Waktu pergi diributi, pulang diributkan dan sekarang masih saja ribut.
Ayolah sudahi. Malu ditonton dan diteriaki anak negeri. Kaum milenial bilang, “Gabut amat, gaje banget.” Mending move on urus Covid, supaya bantuan tak lagi dikorupsi.
*) Penulis Aktivis Dewan Da’wah