Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kasus penahanan Syahganda Nainggolan, Djumhur Hidayat dan Anton Permana adalah kriminalisasi. Begitu juga dengan Gus Nur dan tokoh KAMI Sumatera Utara.
Bahwa hal itu mengacu pada ucapan di media elektronik mungkin benar. Tetapi UU ITE adalah “undang-undang kolonial”. Artinya, seperti zaman kolonial yang dengan mudah menggunakan Wetboek van Straftrecht “Haatzai Artikelen” untuk mencari dalih hukum memenjarakan para pejuang politik.
Tebang pilih sudah dapat dipastikan. Banyak orang menulis, mengomentari, atau mendistribusikan sesuatu yang serupa dengan yang dituangkan oleh para tokoh tersebut di atas. Dan hal itu lolos atau biasa saja karena bukan target. Apalagi jika itu dilakukan oleh mereka yang dikelompokkan sebagai pegiat pembela penguasa. Buzzer sebutannya, untuk suatu keahlian menyebarkan hoaks, ujaran kebencian dan permusuhan.
Kini HRS juga terus dicari sampai “lubang semut” untuk adanya perbuatan kriminal. Urusan pernikahan putrinya pun dimasalahkan dan dilempar opini akan adanya suatu perbuatan pidana. Sementara kasus pernikahan atau kerumunan serupa di tempat lain tidak menjadi persoalan apa-apa. Inilah yang namanya diskriminasi dan kriminalisasi.
Kepentingan politik sangat kentara. HRS dianggap tokoh berbahaya yang harus dibungkam dan dibuat tak berdaya. Pergantian Polda Metro Jaya menjadi momen untuk ini.
Kapolda baru menyatakan “dipastikan ada unsur perbuatan pidana atau dugaan pelanggaran protokol kesehatan dalam kerumunan saat acara akad nikah putri Habib Rizieq Syihab di Petamburan”.
Dipaksakan adalah kesan paling kuat. Ada beberapa faktor yang mesti dikritisi atas kesimpulan dini Kapolda, yaitu:
Pertama, masih terjadi beda tafsir soal pemberlakuan UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemda DKI, juga Presiden, memberlakukan PSBB, bukan Karantina Wilayah, karenanya sanksi hanya denda berdasarkan Perda dan itu sudah dijalankan. Sanksi pidana berlaku untuk kebijakan “lock down” atau karantina.
Kedua, Kapolda melanggar asas “praduga tak bersalah”. Mestinya pidana dianggap terjadi setelah ada Putusan in kracht dari Pengadilan. Demikian juga tidak dapat seenaknya dinyatakan ada tindak pidana sebelum HRS sendiri diperiksa. Apalagi jika terlalu ambisius membuat SPDP kepada Kejaksaan. Semua menabrak-nabrak hukum kelaziman.
Ketiga, jika “kerumunan” adalah sebab dari terjadinya tindak pidana, maka semua orang yang berkerumun pada acara tersebut harus dipidana. Artinya, ribuan bahkan mungkin puluhan ribu orang-orang yang terlibat (dalam kerumunan) harus diproses hukum. Titelnya adalah “deelneming”, bukan “alleen dader”. Lagi pula UU Kekarantinaan Kesehatan sama sekali tidak menyebut “kerumunan” sebagai unsur.
Keempat, jika HRS diduga bersalah karena akad dan walimah pernikahan putrinya yang berujung pada pencopotan Kapolda Metro terdahulu, maka bukan saja cukup dicopot tetapi Kapolda karena “by omission” juga dipidana. Ini konsekuensi dari penegakkan hukum yang obyektif, bukan diskriminatif.
Pemerintahan Joko Widodo sebaiknya kembali ke rel yang benar dalam menjalankan amanat rakyat. Janganlah Pak Joko Widodo memperalat para penegak hukum untuk berlaku zalim di negeri ini. Tegakkan keadilan sebagai amanat moral berideologi Pancasila. Tidak perlu memperpanjang catatan penggunaan hukum untuk kepentingan politik sesaat.
Saatnya untuk bersikap jujur, tidak berkoar tentang basis milenial pada perilaku yang sebenarnya kolonial. Setop diskriminasi dan kriminalisasi. Karena, itu adalah sikap zalim dan anti demokrasi.
*) Pemerhati Politik dan Hukum
Bandung, 15 Rabi’ul Akhir 1442 H/1 Desember 2020 M