SALAM-ONLINE.COM: Hari-hari ini Indonesia kembali menjadi perhatian dunia. Perhatian yang sayangnya kurang mengenakkan. Bukan perhatian yang saya impikan. Bahwa suatu saat Indonesia akan jadi pusat perhatian dunia karena kekuatan, kemajuan dan tentunya berbagai inovasinya di tengah kehidupan dunia globa saat ini.
Justru yang menarik perhatian dunia kali ini adalah peristiwa kekerasan dan pembunuhan kepada 6 rakyat sipil kemarin pagi (Senin, 7/12/2020). Keenam korban ini diduga sebagai pendukung dan pengawal Imam Besar FPI, Habib Riziq Syihab (HRS). Kejadian ini telah banyak mendapat sorotan media internasional, termasuk AP, Reuters, Al-Jazeera, dan lainnya.
Di dalam negeri sendiri hampir semua media mengalihkan perhatian dari isu-isu besar yang dalam dua tiga hari ini menjadi isu panas di tanah air. Isu itu adalah tertangkapnya dua Menteri Kabinet Kerja, Menteri Sosial Juliari Batubara dari PDIP dan sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Partai Gerindra.
Menariknya lagi dengan penangkapan Menteri Sosial yang menyalahgunakan dana Covid-19 itu terancam oleh pernyataan Ketua KPK dan bahkan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa korupsi di masa pandemi ini ancamannya hukuman mati. Tentu pernyataan ini menjadi tantangan sendiri akan konsistensi pemerintah dalam menegakkan Hukum dan memenuhi janji.
Tapi isu yang tidak kalah pentingnya, bahkan seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua pihak, khususnya pemerintah, adalah menggeliatnya seruan gerakan Papua Merdeka, baik dari luar maupun dalam negeri. Salah satu di antaranya adalah seruan Papua Merdeka di Kongress XXXVII GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia).
Seruan Papua Merdeka ini tentunya menjadi hal besar yang harusnya menarik perhatian dan keprihatinan semua pihak. Karena segala hal yang selama ini didengungkan oleh pemerintah, termasuk upaya meredam gerakan-gerakan radikal karena dianggap dapat mengganggu stabilitas nasional dan ancaman terhadap NKRI. Maka pastinya keterbukaan seruan Papua Merdeka ini dilihat sebagai ancaman yang lebih berbahaya dan nyata.
Akan tetapi dengan penembakan dan pembunuhan 6 orang Muslim pengikut HRS ini kontan saja semua pemberitaan mengenai kedua hal di atas hilang bagaikan tertelan hantu. Seolah perhatian bangsa, termasuk media massa dan media sosial tergiring untuk melupakan semuanya.
Karenanya wajar jika penembakan anggota FPI dan pengawal HRS itu oleh sebagian dicurigai sebagai, selain memang upaya meredam pergerakan Dakwah HRS yang dianggap kurang nyaman bagi sebagian kalangan, juga untuk pengalihan perhatian publik.
Pengalihan isu ini dianggap penting untuk menyelamatkan muka pihak-pihak yang boleh jadi sekarang menjadi tercoreng. Selain karena pelaku korupsi itu pastinya mencoreng partai afiliasinya, juga karena isu Papua Merdeka kini menguji nyali mereka yang selama ini meneriakkan “NKRI Harga Mati”.
Penembakan ini isu HAM
Terlepas dari apa dan bagaimana kejadian sesungguhnya terjadi di subuh hari itu, penembakan rakyat sipil tanpa sebuah ancaman nyata yang bisa dibuktikan tidak bisa dibenarkan oleh Hukum dan akal sehat.
Pembunuhan yang terjadi, siapapun pelaku dan korbannya, adalah perbuatan keji yang terkutuk. Oleh karenanya pembunuhan itu harus ditolak dan dikecam. Bahkan dikutuk oleh semua orang yang sadar hukum dan punya rasa kemanusiaan (sense of humanity).
Kesadaran hukum dan rasa kemanusiaan itulah yang membangkitkan bangsa Amerika mengutuk pembunuhan terhadap satu orang Afro Amerika belum lama ini. George Floyd yang ditindih oleh polisi hingga kehilangan kehidupannya memicu kemarahan warga Amerika. Bahkan tidak berlebihan jika menjadi bagian dari penyebab kekalahan Presiden Donald Trump dalam Pilpres AS lalu.
Karenanya, apa yang terjadi di Indonesia ini seharusnya menjadi isu sensitif dan besar. Tentu tidak harus menimbulkan reaksi destruktif. Tapi perlu secara masif disuarakan resistensi itu. Agar kekejian serupa jangan lagi terulang.
Kejadian yang telah membuka mata dunia internasional ini juga pastinya akan menjadi cataan dunia. Apalagi dalam konteks Amerika, dengan kemenangan Biden dari Partai Demokrat yang punya perhatian serius terhadap isu-isu HAM. Hal ini jika tidak diselesaikan dengan baik dan adil maka akan menjadi isu besar bagi Indonesia.
Khawatirnya justru kekerasan seperti ini akan membuka pintu bagi pihak-pihak yang memang punya itikad yang kurang baik untuk merusak Indonesia. Termasuk kemungkinan menjadi pintu bagi dunia untuk membuka mata terhadap isu Papua itu sendiri.
Karenanya, harapan kita semua, peristiwa ini jangan sampai terulang lagi. Polisi itu harusnya hadir memberikan rasa aman dan perlindungan kepada warga. Penggunaan kekerasan, apalagi dengan senjata api, hanya diperbolehkan dalam situasi yang ekstra penting dan nyata bahayanya (real threat).
Rasa kemanusiaan saya mengatakan bahwa keadaan yang timbul saat kejar-kejaran di jalan itu bukan sebuah keadaan yang ekstra ordinari (luar biasa). Saya yakin andai saja pendukung HRS itu memiliki senjata api, dengan keahlian dan pengalaman polisi bisa diamankan tapa penembakan, apalagi pembunuhan.
Karenanya, terlepas dari apa yang sesungguhnya terjadi saat itu, dan semoga bisa dibuktikan, membunuh sipil apalagi jamaah yang tengah menuju ibadah shalat subuh dan acara pengajian adalah sesuatu yang terkutuk.
Mari suarakan resistensi itu dengan cara-cara konstitusional dan konstruktif, agar hal serupa tak terulang. Pembunuhan, sekali lagi, siapapun pelaku dan korbannya harus ditentang dan dikutuk.
Nyawa manusia itu sakral. Biarlah Allah sang Pencipta mati dan hidup yang mengambilnya. Dan semoga Indonesia, negeriku tercinta, selalu aman dan damai, makmur dan berkeadilan. Aamiin!
Udara Indonesia, 22 Rabi’ul Akhir H/8 Desember 2020 M
*) Penulis Imam dan Diaspora Indonesia di Kota New York, US