Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Sudah banyak yang mewanti-wanti agar dalam proses vaksinasi ini kepeloporan Presiden harus diikuti dengan transparansi dan tak membuka celah pintu dugaan negatif. Bermain dengan vaksin bukan saja berbahaya, tetapi juga mengarah pada skandal.
Penyuntikan tidak tanggung-tanggung dilakukan oleh seorang Guru Besar yang “gemetaran” saat menyuntik. Prof dr Abdul Mutholib, Sp PD KHOM. Mungkin sebenarnya dapat lebih tegar dan mahir jika dilakukan oleh seorang paramedis. Tetapi itulah fungsi pencitraan. Presiden disuntik vaksin oleh Guru Besar kedokteran.
Benar saja, banyak yang curiga. Yang paling menonjol dan viral adalah surat terbuka seorang dokter dari Cirebon. Dokter spesialis penyakit dalam dr Taufiq Muhibbudin Waly, Sp PD. Dokter Taufiq berpendapat setelah mendiskusikan dengan dokter dan paramedis senior bahwa cara penyuntikan vaksin kepada Presiden adalah salah. Menurutnya, agar masuk intramuskular harus lurus 90 derajat. Jika miring maka vaksin salah masuk. Demikian juga alat suntik spuit 3 cc, bukan spuit 1 cc seperti yang terlihat.
Meski ini hanya opini dan dinafikan oleh Ketua IDI dr Daeng Faqih yang ikut disuntik bersama Presiden, tetapi hal tersebut harus dikarifikasi serius. Tidak cukup dibantah, apalagi sekadar menyebut surat hanya berdasar opini.
Rakyat Indonesia menyaksikan dan mempertaruhkan diri kelak terhadap penyuntikan yang dicontohkan oleh Pak Joko Widodo. Presiden pun berbahagia dan menyatakan, “Tak terasa, terimakasih Prof.” Refleks yang menimbulkan multi tafsir. Uji kesahihan harus dilakukan, apakah dr Taufiq atau dr Daeng yang benar?
Kalau ada kesalahan suntik, solusi jelas pengulangan sebagaimana saran dr Taufik. Jika cara penyuntikan dan isi sudah benar, maka dr Taufik dapat dikenakan sanksi oleh IDI. Masalah terberat adalah jika ternyata “salah suntik” itu “by design”. Nah ini akan masuk ranah penipuan terhadap publik. Hoaks yang tersebar di banyak media. Jika dugaan ini benar, maka Presiden dan tim telah menyebarkan kebohongan, bukan satu dua orang, tetapi rakyat telah tertipu.
Merujuk peristiwa kebohongan Ratna Sarumpaet yang dihukum 2 tahun penjara, maka Presiden yang melakukan hal serupa juga tidak boleh kebal hukum. Delik yang dikenakan kepada Sarumpaet adalah penyebaran berita bohong Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan kepada yang bersangkutan dikaitkan pula dengan Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE.
Penelusuran secara transparan dan objektif untuk menyimpulkan bahwa penyuntikan vaksin Presiden itu benar, salah, ataupun suatu kebohongan, menjadi sangat penting, mengingat akibat hukum yang ditimbulkannya.
Pertanyaannya kini adalah mungkinkah pihak-pihak yang terlibat berani memberi pengakuan atau kesaksian di bawah sumpah? Atau mungkin perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) independen untuk menyelidiki? Memang lucu juga jadinya, tetapi apa yang tidak lucu sih di negeri ini?
Terlalu banyak pemimpin yang menjadi pelawak suntik, eh, pelawak politik.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan