Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Bom Panci semakin populer dan pilihan favorit tukang panci, eh tukang bom-boman. Umat atau kelompok Islam selalu jadi tertuduh untuk kasus serupa. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok “teroris Islam”. Seperti “peliharaan” yang telah diatur kapan munculnya.
Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran, artinya sarat nuansa keagamaan. Tak ada hujan, tak ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen, ujug-ujug Gereja yang jadi sasaran.
Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam tak ada kebencian pada Gereja beserta jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Artinya pembawa bom itu justru dalam keadaan yang tidak normal.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menilai ini bukan soal agama, tetapi rekayasa adu domba. Banyak kalangan menilai serupa, tak percaya pada spirit “terorisme” berbasis agama. Jika adapun maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya.
Dari dahulu tidak pernah ketemu dalangnya. Mungkin si dalang ada di tempat terang. Di depan hidung yang belang-belang. Aneh, aparat keamanan tak mampu menemukan dalangnya. Selalu wayang-wayang yang itu pun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang.
Klasik cerita bom panci… duaaar dengan obyek Gereja, cepat sekali teridentifikasi pelakunya, beridentitas Islam. Betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. “Teroris” sejati semestinya melakukan penyamaran karena berorientasi pada hasil, misalnya korban itu jemaat, bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika harus bersorban, berpeci atau berjilbab.
Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Pihak ketiga yang mempunyai sumber daya, baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi dan pastinya membohongi.
Kalau lagi ruwet… duaaar! Ruwet kasus HRS yang terus ribut, ruwet pembunuhan enam laskar yang bergaung dan bersambung, ruwet pandemi yang menggerus uang hingga harus utang, ruwet korupsi yang disorot oposisi. Ruwet perlu tidaknya jabatan tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni dan melindungi dinasti. Ruwet dan ribet.
Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah “teroris” berjuang untuk Islam? Ketika Islam dihina, dinistakan dan dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk, seharusnya “teroris” pejuang Islam itu hadir berbuat. Jika perlu menghabisi tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk tersebut. Tapi itu tak terjadi. Tak ada yang muncul.
Artinya, disadari bahwa memang “teroris” tersebut bukan berjuang untuk Islam. Justru menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. “Teroris” itu tak lain adalah spesies yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa dan negara.
Kini kasus bom-boman datang lagi. Aparat diharapkan profesional menangani. Segera tangkap dan adili dalang, bukan wayang atau tukang gendang. Jangan cepat ditembak atau dibom. Mereka yang dianggap terlibat tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada dan sang dalang segera dapat diketahui keberadaannya, apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri.
Selamat bekerja, rakyat mendukung kerja keras, kerja tuntas, kerja jelas dan kerja cerdas. Bukan kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan