Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kritik merata soal Perpres No 10 tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (BUPM) sebagai pengejawantahan UU Omnibus Law belum mendapat respons dari Pemerintah. Presiden, Wakil Presiden dan Menteri, semua bungkam. Ketua Komisi VI dari PKB malah mendukung dengan alasan kearifan lokal. Mabuk itu ketidakarifan nasional, bukan kearifan lokal.
Minuman keras yang menyebabkan mabuk jelas merusak segalanya. Ada sedikit manfaat tapi mudharatnya jauh lebih besar. Semestinya Pemerintah harus berperan menjadi penjaga moral bangsa. Mabuk, judi, prostitusi adalah deviant behavior. Mesti dicegah dan tak boleh dibiarkan dengan alasan apapun.
Ketika Presiden bukan orang yang dipandang merepresentasi nilai-nilai ke-Islaman, maka Wakil Presiden adalah orangnya. KH Ma’ruf Amin di samping sebagai Wapres, juga mantan Ketua Umum MUI dan kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat. Kiai ini awalnya menjadi harapan penjaga moral pada tataran kebijakan Pemerintah. Sikap keulamaannya ditunggu umat Islam.
Hingga kini nampaknya legalisasi minuman keras di empat Provinsi, yaitu Papua, Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali dan Sulawesi Utara (Sulut), mulus-mulus saja. Tak ada tanda-tanda Pak Wapres yang Kiai ini melakukan upaya pencegahan. Bicara pun tidak. Ruang amar ma’ruf nahi munkar tidak diisinya. Khawatir apa yang disabdakan Nabi menjadi tidak terhindarkan yaitu mereka yang diam saja melihat kemungkaran adalah setan bisu.
Disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim: “Orang yang berdiam diri dari kebenaran, maka ia adalah Syaithan Akhros (Setan Bisu) dan orang yang menyampaikan kebatilan adalah Syaithan Naathiq (Setan Berbicara).”
Orang yang mengetahui mana yang benar dan mana salah harus menyampaikannya. Tidak boleh diam. Faktor yang membuat takut apakah tekanan kekuasaan, jabatan yang terancam, usaha tersendat, bahkan penjara haruslah diabaikan. Keberanian atas dasar keyakinan akan adanya pertolongan dan kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah didahulukan.
Nah kini saatnya Pak Kiai Wapres untuk bersikap. Jangan terus sembunyi di dinding ketidakmampuan. Eksislah Pak Kiai. Buktikan bahwa Wapres Indonesia adalah Ulama. Jangan keberadaan dan ketiadaan itu sama saja, “wujuduhu ka’adamihi”. Miras itu berbahaya dan haram. Membiarkannya sama dengan membunuh generasi muda bangsa.
Pak Kiai harus mencegah dan menasihati Pak Joko Widodo agar dalam mengelola negara ini jangan hanya berpikir materialistis. Yang diprogramkan hanya duit dan duit saja. Investasi-lah, infrastruktur-lah yang semuanya diukur oleh duit. Sadarkah bahwa jika orientasi keseharian hanya urusan duit dan duit justru akan disempitkan. Faktanya ambruk perekonomian dan utang pun semakin bertumpuk.
Ketika korupsi di sekitar istana marak, Pak Kiai diam. Ketika aktivis dan ulama dipenjara , Kiai tidak hadir membela. Saat pejuang Islam terbunuh tanpa alasan, Kiai bungkam. Dan kini urusan miras yang sangat jelas dalil larangannya, Kiai pun sunyi senyap. Lalu apa guna status dan jabatan yang disandang? Untuk bidangnya saja tak berdaya.
Pak Kiai Ma’ruf Amin adalah bagian dari kekuasaan. Kekuasaan walau sejumput tetapi ada di tangannya. Jika kekuasaan tidak digunakan dengan baik, maka dapat mencelakakan dirinya. Orang bijak dan berilmu jika sudah merasa tidak mampu, akan menarik diri. Mundur lebih baik daripada mengkhianati amanat.
Pak Kiai pasti ingat pepatah: “Man laa ‘aba al tsu’baani fii kafihi, haihaata an yaslama min las’atihi”—Barangsiapa memainkan ular di tangannya, tidak mungkin baginya untuk selamat dari gigitannya.
Pak Kiai mungkin kini sedang digigit ular, bisanya sudah masuk merusak jiwa dan pikiran. Moga saja iman masih bertahan.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan