Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Komnas HAM memiliki kewenangan penuh untuk menggali fakta dan menyelidiki kasus pembunuhan enam laskar FPI di KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Kerja Komnas HAM berujung pada kesimpulan terjadinya “unlawful killing” oleh aparat Kepolisian dan menyatakan sebagai pelanggaran HAM yang mesti diproses secara hukum. Namun, menurut Komnas HAM, bukan kategori pelanggaran HAM berat.
Publik menilai kerja Komnas HAM belum optimal karena ada hal yang tidak terungkap atau janggal atau mungkin juga disembunyikan. Atas dasar banyak faktor.
Ada tiga hal yang menjadi pertanyaan mendasar yang justru tidak diungkap Komnas HAM, yaitu:
Pertama, Komnas sama sekali tidak melihat adanya indikasi penganiayaan oleh aparat terhadap keenam anggota Laskar FPI. Padahal foto dan hasil autopsi dimiliki. Saat ini dugaan tersangka aparat Kepolisian justru dituduh atas pelanggaran Pasal 338 Jo 351 KUHP. Pasal 338 KUHP menyangkut pembunuhan dan Pasal 351 adalah penganiayaan.
Kedua, keberadaan mobil Land Cruiser yang datang ke TKP rest area KM 50 tidak terkuak personalnya. Padahal saksi yang ada melihat bahwa terjadi selebrasi seperti tim voli yang dipimpin oleh “pejabat” yang turun dari mobil Land Cruiser tersebut. Pemeriksaan kepada Polisi yang bertugas di KM 50 telah dilakukan oleh Komnas HAM. Bungkamkah seluruh saksi, termasuk yang berselebrasi atas siapa “komandan” yang memimpin itu? Benarkah Komnas HAM tidak tahu juga?
Ketiga, menjadi pertanyaan Komnas HAM mengenai mobil yang membuntuti dan menembak saat berkejar-kejaran di jalan menuju gerbang tol Karawang Barat. Avanza hitam nopol B 1739 PWQ dan Avanza silver nopol B 1278 KJD. Aneh jika Komnas HAM tidak dapat menemukan siapa penumpang dua mobil pembuntut dan pengejar tersebut. Semestinya mudah untuk diketahui dari keterangan Kepolisian sendiri, sebab dalihnya adalah “tembak menembak” dengan aparat Kepolisian. Atau memang mereka bukan Polisi?
Tiga hal di atas menjadi sangat penting atau bagian dari kunci operasi pembunuhan dan penganiayaan enam laskar FPI tersebut. Tiga hal yang semestinya diketahui Komnas HAM saat melakukan penyelidikannya. Jika ternyata memang mengetahui, tetapi tidak mengungkapkan, berarti Komnas HAM telah menyembunyikan fakta atau temuan.
Keyakinan Komnas HAM atas terjadinya tembak menembak yang menewaskan dua anggota laskar, sementara Komnas HAM tidak mengetahui siapa aparat Kepolisian yang “tembak menembak” tersebut, sungguh janggal dan aneh. Menyimpulkan tidak terjadi “unlawful killing” pada pembunuhan dua anggota laskar tersebut semestinya didapat dari keterangan dari pengejar, pembuntut, serta penembak sendiri. Dan itu adalah penumpang mobil Avanza hitam B 1739 PWQ dan Avanza silver B 1278 KJD.
Pihak keluarga meyakini keenam laskar tidak memiliki senjata api, sementara pihak Kepolisian dan Komnas HAM yakin terjadi tembak menembak. Artinya, anggota laskar itu memiliki senjata api. Beberapa waktu lalu, pihak keluarga mengundang pihak Kepolisian untuk bersama-sama melakukan Mubahalah, siapa yang nantinya benar dan berdusta. Namun pihak Kepolisian tidak hadir dalam Mubahalah tersebut.
Mengingat layak diduga terjadi penyembunyian fakta dan temuan oleh Komnas HAM dan Komnas HAM telah meyakini anggota laskar memiliki senjata api, maka muncul pertanyaan, haruskah dilakukan pula Mubahalah dengan Komnas HAM?
Ketika tuntutan masyarakat agar dibentuk Tim Pencari Fakta Independen tidak dipenuhi dan Komnas HAM akhirnya diberi kepercayaan untuk melakukan penyelidikan, maka tanggung jawab hukum telah diambil oleh Komnas HAM.
Mengingat hal ini menyangkut urusan nyawa manusia, maka Komnas HAM tentu juga bertanggung jawab urusan dunia dan akhirat. Karenanya Mubahalah adalah sarana lain yang bisa digunakan untuk menguak misteri pembunuhan sadis atas enam anggota laskar FPI oleh aparat Kepolisian atau instansi lain yang terlibat. Beranikah Komnas HAM?
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan