Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Akhir-akhir ini Isu reshuffle kabinet kembali merebak. Tidak ada harapan perubahan signifikan dari pergantian Menteri. Rakyat tidak butuh perubahan parsial kementerian. Yang ditunggu kapan Presiden mundur atau diganti. Cerita tiga periode hanya dianggap sebuah parodi. Jika obyektif, Presiden dinilai memang sudah tidak mampu.
Reshuffle kabinet sebelumnya menghasilkan Menag, Mendag, Menteri Pariwisata, Nenkes dan Mensos baru. Namun sama sekali tidak mengubah kinerja Pemerintahan Joko Widodo. Risma Mensos baru juga masih dominan akting daripada bukti kemampuan. Sulit berharap pada Menteri-Menteri baru. Di samping tidak ada visi dan misi Menteri, juga sistem kabinet sendiri berjalan dengan manajemen tidak visioner.
Isu reshuffle adalah isu politik yang hanya untuk kepentingan istana dalam tiga hal.
Pertama, Joko Widodo ingin mencitrakan sebagai Presiden yang masih kuat dan dominan, tampil menunjukkan kepada lingkaran istana bahwa siapa yang mencoba melawan atau mengganggu akan diganti.
Kedua, koalisi dipancing agar semakin mendekat, di samping takut hilang Menteri PHP pun berjalan. Jangan jangan Demokrat masuk lingkaran pula untuk bargaining ke depan. Isu reshuffle selalu membuat semut berkumpul.
Ketiga, isu reshuffle berfungsi untuk menutupi diri dari kelemahan yang sekaligus memperpanjang nafas politik. Tiga periode juga bagian dari upaya meski dengan bahasa tidak berminat atau tidak akan mempengaruhi MPR.
Tapi begitulah rakyat sebenarnya sudah tidak peduli dengan reshuffle. Rakyat berpikir tentang bahaya krisis kesehatan, ekonomi, politik dan hukum. Permainan hukum yang semakin mencolok. Intervensi dan diskriminasi.
Semakin sering reshuffle digulirkan semakin terbukti Presiden tidak mampu memilih pembantu yang baik. Yang sebenarnya menjadi cermin dari ketidakmampuan rakyat memilih Presiden yang baik pula.
Memang selalu saja menjadi pertanyaan: “telur dulu atau ayam dulu?” Yang repot ayamnya sakit, telurnya busuk.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan