Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Bagi orang yang beriman, tentu akan berpikir beribu-ribu kali untuk berbuat zalim. Jangankan dalam bentuk zalimun linafsihi wa lighairihi—menzalimi diri sendiri dan orang lain—sekadar zalimun linafsihi—menzalimi diri sendiri—sekalipun telah membuat Adam dan Siti Hawa bersegera bertaubat.
Keduanya berdoa: “Yaa Rabb kami, sungguh kami berdua telah menzalimi diri kami sendiri. Andai Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, maka niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi (di dunia dan di akhirat nanti),” (QS Al-A’raaf: 23).
Azab bagi orang yang berbuat zalim itu pasti. Jika tidak di dunia, maka pasti di akhirat.
Karenanya, manusia bisa saja membuat keputusan apapun di dunia (QS Thaaha: 72). Namun yang seharusnya disadari oleh setiap manusia, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah lalai terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang zalim.
Jika orang-orang zalim itu tidak segera memperoleh azab di dunia, maka itu artinya Allah Ta’ala menangguhkan azab-Nya (QS Ibrahim: 42).
Masalahnya, apakah orang-orang zalim itu takut kepada pengadilan akhirat?
Sama sekali tidak! karena setan yang telah menguasai dirinya, berhasil membuat kezaliman itu seakan-akan sesuatu yang baik, benar dan adil (QS Faathir: 8, Muhammad: 14).
Orang-orang semacam ini tak hanya telah dirasuki setan sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyesatkan mereka, tapi sifat-sifat syaitani benar-benar sudah menguasai hawa nafsu dan diri mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah mengingatkan, bahwa kezaliman dan kemaksiatan dalam bentuk apapun jika dilakukan, maka ia ibarat nuktah, “titik” hitam dalam qalbu seseorang.
Ketika kezaliman itu sudah sangat sering dilakukan, maka ia akan Roona (QS Al- Muthaffifiin: 14), menjadi gumpalan hitam yang menutupi qalbunya, sehingga sangat sulit bagi cahaya hidayah untuk menembusnya.
Seorang Ulama besar di abad 7 H, Ibnu AI-Qayyim AI Jauziyyah, murid utama dari Ibnu At Taimiyyah, menggambarkan hal ini dalam Syifa AI Alil:
“Semua orang zalim, pelaku dosa dan fasik pasti akan Allah tampakkan kepadanya kezaliman, maksiat dan kefasikan itu sebagai sesuatu yang buruk. Namun karena (hawa nafsu) yang bersangkutan telah merasa nyaman melakukannya, maka pandangan buruk itu terangkat dari hatinya sehingga dia malah melihatnya sebagai sebuah kebaikan, dan itulah hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya.
Keburukan itu hanya akan terbuka dengan cahaya Allah dalam hati yang nanti akan menjadi hujjah (alasan) Allah untuk menghukum dirinya.
Jika yang bersangkutan betah dan nyaman dalam kezaliman dan kesesatan, maka cahaya itu pun akan sirna, sehingga keburukan itu tak terlihat lagi karena berada dalam kegelapan kejahilan, dosa dan kezaliman.” []
*) Penulis adalah Ketum ANNAS Indonesia/Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia