Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Dosa pertama yang dilakukan oleh manusia pertama Adam dan Hawa adalah melanggar larangan memakan buah khuldi.
Buah yang populer dengan nama Khuld yang berarti “kekal” itu terkait dengan keberhasilan iblis yang menjanjikan kekekalan jika Adam dan Hawa memakan buah yang terlarang tersebut (QS Thaaha: 120).
Kecenderungan ingin kekal dalam segala hal yang berbau duniawi, termasuk kekal dalam jabatan, diwarisi kemudian oleh segelintir anak cucu Adam yang tidak beriman dan atau lemah imannya, sejak dahulu sampai saat ini.
Namrud pada zaman Nabi lbrahim ‘Alaihissalam dan Fira’un pada masa Nabi Musa ‘Alaihissalam, adalah dua di antara sekian contoh yang diungkap Al-Qur’an untuk menjadi tadzkirah (peringatan). Dalam hal ini kekuasaan cenderung membuat mereka berdua ingin kekal menggenggamnya secara otoriter dan zalim.
Keduanya (Namrud dan Fir’aun) sampai kepada tingkat mengklaim diri sebagai Tuhan yang maha kuasa. Mereka berbuat semaunya. Termasuk menindas dan membunuh rakyatnya sendiri.
Kecenderungan untuk kekal dalam kekuasaan pernah juga terjadi di negeri ini. Presiden pertama Ir Soekarno pada 1963 sempat ditetapkan sebagai presiden seumur hidup, berdasarkan Ketetapan MPRS nomor III /MPRS/ 1963.
Kendati Soekarno sendiri konon tidak memintanya. Namun umumnya orang sangat mafhum jika mayoritas anggota MPRS pada saat itu adalah orang-orang yang dekat dengan Soekarno .
Untungnya rencana tersebut kandas. Seperti kandasnya kekuasaan presiden berikutnya, Soeharto, yang nyaris berkuasa seumur hidup jika saja tidak dipaksa oleh gerakan reformasi untuk mengundurkan diri setelah berkuasa sekitar 32 tahun.
Dengan kata lain, yang menjadi ruh sekaligus target utama gerakan reformasi adalah membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode, sebagaimana tertuang di dalam pasal 7 UUD 1945. Pasal ini secara tegas menyatakan, bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan untuk sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Karenanya, wacana yang kini sedang digulirkan oleh segelintir orang untuk menambah masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode, di samping tentunya harus mengubah konstitusi, juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Presiden Joko Widodo sendiri sangat menolak rencana ngawur ini. Bahkan berulang kali dia menyatakan jika ada yang mengupayakan dan memperjuangkan dirinya untuk tiga periode, maka dia bukan hanya menolak, tapi juga menganggap mereka yang mengusulkan itu hanya ingin, “Menampar muka saya, mencari muka dan menjerumuskan saya,” kata Joko Widodo.
Mudah-mudahan pernyataan Presiden Joko Widodo ini benar-benar murni mewakili lubuk hatinya yang paling dalam.
Ironisnya, menurut TEMPO edisi 19 juni 2021, justru orang-orang di sekeliling Joko Widodo-lah saat ini yang sangat sibuk bermanuver menggolkan wacana masa jabatan presiden 3 periode itu.
Sementara di edisi 20 juni 2021 diberitakan, sejumlah sumber dari kalangan partai politik dan lembaga survei sudah didekati oleh orang-orang dekat Joko Widodo untuk menggolkan skenario 3 priode tersebut.
Bukan hanya sebatas ide dan wacana, lebih jauh Iagi, sejumlah relawan Joko Widodo sudah membentuk seknas Jokowi-Prabowo 2024 di Jalan Tegal Parang, Mampang Perapatan, Jakarta Selatan, Sabtu 30 Juni 2021. Rencananya gagasan untuk menduetkan Joko Widodo-Prabowo ini akan dideklarasikan 4 atau 5 bulan mendatang.
Cukup beralasan jika kemudian ada pihak yang berpendapat, bahwas orang-orang dekat Joko Widodo kini sedang beramai-ramai menampar muka, mencari muka dan bermaksud menjerumuskan sang presiden.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa Presiden Joko Widodo membiarkan orang-orang dekat di sekelilingnya menampar wajah, mencari muka dan menjerumuskan dirinya?
Pertanyaan berikutnya, kok berani-beraninya mereka mencari muka dengan menampar muka Presiden Joko Widodo dan menjerumuskannya?
Pertanyaan terakhir, mungkinkah mereka semua nekat melakukan hal tersebut karena mereka yakin, bahwa pernyataan tegas menolak tiga priode, lagi-lagi hanya sekadar Lip Service?
Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Penulis adalah Ketum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)/Ketum Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS)