Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Kita tentunya mafhum ketika Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas di hari-hari pertama memangku jabatan menyatakan, “Saya menteri semua Agama.” Dengan pernyataannya tersebut Yaqut ingin menegaskan dirinya berkewajiban untuk mengayomi keenam agama yang resmi dan diakui negara: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Namun ketika yang bersangkutan kemudian menyatakan tekadnya akan mengafirmasi Ahmadiyah dan Syiah, lalu disusul dengan beberapa hari yang lalu mengucapkan selamat merayakan hari raya Naw Ruzy—hari rayanya agama Baha’i—maka wajar jika kemudian umat Islam merasa gerah dengan berbagai ulah Pak Menteri yang tidak pernah dilakukan oleh para Menteri Agama sebelumnya.
Menteri Agama sepatutnya mengetahui dan selayaknya menghormati Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada tahun 1980 telah memfatwakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, yang kemudian diperkuat lagi dengan fatwa di tahun 2005.
Mengenai Baha’i, Ketua Dewan Pimpinan MUI Pusat, KH Muhyidin Djunaedi, menyatakan, “Baha’i merupakan perpanjangan tangan dari sekte yang masih memiliki hubungan historis dengan Islam. Jadi (MUI) sangat tidak setuju, jika Baha’i diakui sebagai agama baru oleh pemerintah. Ditinjau dari sisi kriteria aliran, Bahaisme bersifat sesat dan menyesatkan,” (Republika.co.id,13 Agustus 2014).
Khusus tentang Syiah, Para Ulama terkemuka di dunia, termasuk tokoh keempat mazhab sejak dulu telah memfatwakan sesatnya ajaran tersebut.
Di Indonesia, MUI Pusat sejak dini telah mengantisipasi perkembangan dan ancaman Syiah, di antaranya di tahun 1984 menerbitkan Fatwa kewaspadaan terhadap Syiah.
Lalu MUI menerbitkan buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia” (2013). Disusul kemudian dengan menetapkan empat fatwa terkait empat pokok ajaran Syiah:
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia tertanggal 25 Oktober 1997, tentang Haramnya nikah mut’ah.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia, nomor 10 tahun 2017 tertanggal 1 Maret 2017, tentang kafirnya setiap orang yang meragukan kesempurnaan Al-Qur’an.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia, nomor 23 tahun 2016, tertanggal 17 Mei 2016, tentang Fasik, sesat dan kafirnya setiap orang yang menghina dan mengkafirkan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 1 1 tahun 2017, tertanggal 1 Maret 2017, tentang sesat dan kafirnya setiap orang yang meyakini adanya kema’shuman imam.
Last but not least, sangat mungkin tokoh ulama di Indonesia yang paling pertama menyatakan Syiah sebagai Ahli bid’ah adalah Hadratus syekh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU), salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia. Ormas tempat Pak Menteri Agama selama ini bernaung.
Pak Menteri Agama seharusnya memahami situasi dan kondisi saat ini. Rakyat sudah cukup menderita dan sangat kewalahan dalam mengatasi perekonomian yang semakin menghimpit kehidupan plus pandemi Covid-19 yang semakin tidak terkendali di negeri ini.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, seyogianya menteri agama lebih bisa arif dan berperan aktif menenangkan umat beragama. Bukannya malah memancing kemarahan dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat dengan mengangkat isu-isu sangat sensitif yang mustahil diterima umat Islam.
*) Penulis adalah Ketum Forum Ulama Ummat Indonesia/Ketum ANNAS Pusat