Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Sepertinya tak ada yang salah dari pidato ucapan selamat 100 tahun Partai Komunis Cina (PKC). Karena, itu hak pribadi, bahkan hak sebagai Ketum Partai.
Masalahnya adalah bangsa Indonesia memiliki trauma dengan rencana kudeta PKI tahun 1965 yang mendapat dukungan dari PKC. Kejahatan pengkhianatan PKI hampir saja menghancurkan NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Mudah untuk kenyimpulkan bahwa hubungan PKC dengan PKI sangat erat. Pada Agustus 1965 DN Aidit, Jusuf Adjitorop dan tokoh PKI lainnya datang ke Beijing. Mereka melakukan konsultasi dengan Ketua PKC Mao Ze Dong, PM Zhou En Lay dan Menlu Chen Yi. Mereka juga menjelaskan rencana dan agenda PKI menghadapi Presiden Soekarno yang sakit berat. Ze Dong mengarahkan strategi perundingan dan angkat senjata.
Selama 1964 dan 1965 hubungan erat diwujudkan dengan pertukaran budaya, pendidikan, ekonomi, antara RRC dan RI. Soekarno pun membuat poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. PKI merasa tidak sendiri untuk bergerak.
Menurut Taomo Zhou, Cina mendukung PKI untuk melanjutkan persatuan dengan Soekarno yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Angkatan kelima dicanangkan. Rakyat dipersenjatai yang tak lain adalah anggota PKI bersenjata.
Pasukan Cakrabirawa di bawah pimpinan Kolonel Untung melakukan pembunuhan Jenderal, DN Aidit mengkhianati Soekarno, PKI dengan sepengetahuan dan dukungan PKC Mao ZeDong membuat fitnah besar di negara Republik Indonesia. Percobaan kudeta dilakukan. Rakyat dan bangsa Indonesia disakiti.
Kini Mega mengucapkan selamat ulang tahun ke-100 Partai Komunis Cina. Mega berpidato memuji-muji RRC di bawah Xi Jinping yang telah memajukan bangsa Cina dan keberhasilan di dunia. Berharap persahabatan Indonesia dengan Cina dapat lebih baik dari sekarang. Persahabatan dengan 271 juta rakyat Indonesia agar abadi.
Pidato Mega ini dapat dinilai menyakitkan bangsa Indonesia, seperti melupakan sejarah. Ada tiga kesalahan utama, yaitu:
Pertama, semestinya jika dianggap penting bagi diri dan partai, Mega mengucapkan selamat cukup dengan berkirim surat kepada PKC atau Xi Jinping. Dengan mempublikasikan melalui video, maka ini membuka luka lama dan “menantang” bangsa Indonesia sendiri.
Kedua, Mega tidak memiliki kepekaan perasaan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia sedang mengkhawatirkan “serbuan TKA Cina”. Serbuan itu bukan saja telah menciptakan kesenjangan lapangan kerja, tetapi juga membangun misteri kualifikasi TKA dan Tentara Merah. Neo PKI dengan Ideologi komunis yang diwaspadai bangkitnya.
Ketiga, klaim harapan adanya persahabatan abadi 271 Juta rakyat Indonesia dengan Cina pimpinan atau kendali PKC adalah berlebihan. Jika berharap persahabatan abadi dengan partainya bolehlah dan wajar. Tetapi klaim harapan menarik seluruh rakyat Indonesia sungguh menjadi tidak wajar. Megawati bukan Presiden RI kini.
Sangat disayangkan sebenarnya pidato terbuka Mega yang dinilai telah menyakitkan bangsa Indonesia. PKC bukan sahabat yang baik. Sejarah telah membuktikan.
Kita teringat pidato Bung Karno terakhir tanggal 17 Agustus 1966 yang menggetarkan: “Djangan Sekali-kali Melupakan Sedjarah!”
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan