Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kata Luhut, rumah ibadah kini sudah dibuka atau dilonggarkan dengan syarat isinya 25% dan harus menunjukkan kartu vaksin. Sudah isinya cuma 25%, harus pakai kartu vaksin pula.
Bagi orang yang kuat beragama, rumah ibadah adalah segala-galanya. Bagi orang yang jauh dari agama kegiatan untuk beribadah di dalam ruang ibadah hanya persoalan kecil yang bisa dilonggarkan atau ditinggalkan. Baginya ibadah itu sama dengan belanja di mall, mengunjungi tempat wisata, atau makan di restoran. Kartu vaksin dijadikan kunci pembuka pintu ruangan.
Agama-agama menempatkan rumah ibadah beragam pada tingkat intensitas “kunjungan” kolektifnya. Islam nampaknya yang paling tinggi. Sekurang-kurangnya lima kali sehari. Shalat berjamaah di Masjid menjadi ibadah berderajat tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kebijakan Menko Luhut B Panjaitan akan terasa dampaknya bagi Muslim yang menjadi mayoritas bangsa ini. Masjid berada di kota dan desa-desa, di kompleks perumahan yang tertata hingga daerah padat penduduk yang mungkin agak kumuh. Masjid adalah rumah warga untuk mendekat kepada Rabbnya: shalat, berdoa dan memohon perlindungan. Termasuk meminta agar pandemi Covid-19 segera berakhir.
Masjid terus kena bantai oleh kebijakan Pemerintah dengan alasan Covid-19. Dari shalat bermasker, merenggangkan shaff, hingga larangan shalat di Masjid. Masjid yang ditutup. Kini dibolehkan dengan syarat jamaah harus berkartu vaksin. Dengan demikian vaksin telah menjadi alat pemaksaan sekaligus penjajahan ritual.
Vaksin itu hak, bukan kewajiban. Kebaikan bersama bukan kemutlakan. Konstitusi atau Undang-Undang tidak ada eksplisit mewajibkan. Peraturan hanya sampai memberi sanksi administratif pada warga yang tidak bervaksin. Itupun masih dikritisi. Pelaksanaan haruslah berdasar pada Peraturan yang jelas dan tidak pada tafsir seenaknya sesuai kehendak Pemerintah.
Pemerintahan Joko Widodo terus mengarah pada etatisme dengan mengambil kebijakan yang mengabaikan persetujuan rakyat. Rakyat yang sedang menderita kesulitan dan kepedihan dalam menghadapi pandemi bukannya dimudahkan dan digembirakan, tetapi justru terus dibombardir dengan pemaksaan demi pemaksaan.
Lihatlah pengangguran yang terus bertambah, pedagang kecil yang diobrak-abrik, angkutan umum yang sulit mndapatkan penumpang, usaha yang bangkrut, dan kini ibadah yang dipersulit. Syarat harus dengan kartu vaksin dan besok bisa-bisa harus didahului tes PCR atau SWAB yang tentunya berbayar.
Pemerintah jangan licik memaksakan vaksin pada warga, tetapi lepas tangan dari ekses penyuntikan vaksin seperti kemungkinan menyebabkan kelumpuhan hingga kematian.
Belum lagi isu vaksin yang kebal atas varian baru virus Corona. Perlu klarifikasi.
Penanganan pandemi Covid-19 ini harus segera dikaji, dievaluasi, diaudit, kemudian dibangun konsensus bersama dengan seluruh rakyat, termasuk kepedulian dan bukti kerja para wakil rakyat. Tanpa ada kebersamaan, maka yang terjadi adalah pemaksaan-pemaksaan. Bahkan bernuansa penjajahan.
Kebijakan Luhut Panjaitan soal rumah ibadah bervaksin harus melibatkan pandangan MUI dan ormas keagamaan. Jika hanya dengan kemauan sepihak maka Luhut telah menjadi aktor jahat dari proses penjajahan ritual.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan