Catatan Irwan Prayitno*
SALAM-ONLINE.COM: Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri ketika memberikan sambutan webinar Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa (12/8/2021) berkomentar tentang Sumatera Barat (Sumbar).
Menurut Megawati, kondisi Sumbar saat ini berbeda dengan dulu yang ia kenal. Sejak belum merdeka, merdeka hingga selesai kepemimpinan Bung Karno, menurutnya, tokoh-tokoh Sumbar luar biasa.
Megawati menyebut nama Sutan Sjahrir, Tan Malaka, M. Yamin, H. Agus Salim, Rangkayo Rasuna Said, Buya Hamka, M. Natsir, Abdul Muis, Adnan Kapau Gani, Rohana Kudus, Bagindo Aziz Chan, Ilyas Ya’kub, Imam Bonjol, Khairul Saleh (Waperdam III masa Soekarno). Tokoh-tokoh ini disebut Megawati memiliki cakarawala berpikir luas.
Di alam penjajahan, pemuda-pemudi pelopor Sumbar memiliki alam pikir kebangsaan, memiliki kesadaran berjuang secara nasional. Padahal waktu itu belum ada bangsa Indonesia. Tetapi setelah menjadi bangsa Indonesia terjadi penurunan rasa kebangsaan. Megawati mempertanyakan hal ini.
Apa yang disampaikan Megawati ini menjadi pembicaraan hangat warga Sumbar atau orang Minangkabau. Beberapa waktu sebelumnya di era pilkada, Puan Maharani yang merupakan anak Megawati dan Ketua DPR RI sempat menyebut Sumbar dan hubungannya dengan Pancasila. Ini juga menjadi pembicaraan hangat warga Sumbar dan orang Minangkabau.
Megawati pada waktu yang berbeda juga pernah berkomentar mengapa ada daerah-daerah yang belum bisa menerima PDIP yang ditunjukkan dengan kecilnya suara PDIP di daerah tersebut (di antaranya Sumbar).
Jika melihat kecilnya suara PDIP di Sumbar, bisa dilihat dari pengalaman pemilu terdahulu. Masyumi pada 1955 adalah pemenang pemilu di Sumatera Tengah (Sumbar, Jambi, Riau) sekitar 50% suara. Jadi, Sumbar sejak awal menjadi basis kuat Masyumi. Sama halnya dengan demokrasi di Amerika Serikat (AS), negara bagian tertentu merupakan basis kuat Partai Demokrat dan negara bagian lainnya basis kuat Partai Republik. Sumbar sejak awal bukan merupakan basis kuat PNI atau PDIP, sehingga perolehan suara PDIP di Sumbar tidak sebanyak daerah lain.
Selain itu, karakter masyarakat Sumbar atau masyarakat Minangkabau, sejak dahulu hingga sekarang bisa dikatakan tidak mengalami perubahan. Saya teringat pada masa kuliah S1 di tahun 1980-an di jurusan Psikologi UI. Seorang dosen Psikologi Sosial, Prof Dr Suwarsih Warnaen membuat penelitian tentang etnik yang ada di Indonesia, termasuk etnik Minangkabau. Hasil kajiannya memunculkan kontroversi. Seolah-olah orang Minangkabau itu karakternya buruk semua. Padahal bukan seperti itu. Di setiap etnis, selalu ada orang yang karakternya positif dan juga negatif.
Karakter orang Minangkabau di antaranya adalah pengkritik. Ia mengkritik apa yang ia lihat dan rasakan. Kritik yang muncul bisa saja menjadi positif karena memang terlihat ada hal yang kurang atau negatif. Tetapi bisa juga kritik yang muncul hanya sebagai cemooh (cemeeh).
Selain itu, orang Minangkabau adalah pandai bicara. Tidak heran jika kepandaiannya berbicara memunculkan orang-orang hebat, seperti guru, dosen, ulama, diplomat, saudagar, wartawan, seniman, budayawan, politisi, pengamat, intelektual. Tetapi pandai bicara juga bisa diartikan negatif ketika yang melakukannya dikenal orang gadang ota.
Orang Minangkabau cerdik, tetapi ada juga yang licik. Orang Minangkabau pandai berhitung, tetapi ada juga yang pelit. Sama juga dengan orang daerah lain yang punya karakter plus dan minusnya. Karakter lainnya adalah mandiri dan independen. Aktualisasi diri orang Minangkabau bisa terlihat ketika ia mampu memunculkan kemandirian dan independensinya sehingga terkesan tidak ingin bekerja sama atau egois.
Karakter seperti ini mungkin berbeda dengan karakter orang dari suku bangsa lain, yang mungkin bisa berhasil jika bersama-sama. Namun karakter setiap suku bangsa tidak bisa dibandingkan dan dinegatifkan. Karena karakter tersebut tumbuh dan berkembang di lingkungan yang berbeda. Perbedaan yang ada tersebut justru bisa menjadi aset berharga bagi bangsa Indonesia. Karena perbedaan yang ada dan saling menghargai bisa menjadikan kita bersatu dan kuat.
Indeks Kebahagiaan yang diterbitkan BPS beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa orang Sumbar tidak cepat puas. Yang sudah tamat S1, masih ingin melanjutkan ke jenjang pascasarjana, baru ia merasa puas. Orang yang pendapatannya setara UMR masih belum puas. Ia ingin penghasilan lebih tinggi. Setelah mendekati 10 juta rupiah baru ia puas. Oleh karena itu, banyak orang Minangkabau merantau karena dorongan ketidakpuasan yang ada pada dirinya, sehingga ingin mencari kepuasan yang lebih tinggi di tempat lain.
Dalam pilkada, orang Minangkabau juga tidak cepat puas. Kepala daerah yang sudah berprestasi jika dianggap tidak bisa memuaskan masyarakat maka akan dipilih yang baru, yang dianggap lebih menjanjikan dan bisa meningkatkan kepuasan.
Gambaran ketidakpuasan demikian juga dipotret oleh lembaga survei pimpinan Burhanudin Muhtadi tahun 2016. Hasil survei tersebut menyatakan bahwa kepuasan warga dari etnis Minangkabau terhadap kepemimpinan Joko Widpdo adalah yang terendah, sebesar 36,1%, dan yang kurang puas sebesar 63,9%. Ketidakpuasan demikian bukan semata dalam politik, tetapi di berbagai bidang seperti yang sudah disebut sebelumnya.
Saat ini para perantau Minangkabau sudah tersebar di berbagai provinsi di Indonesia dan dunia. Mereka ingin mengaktualisaikan diri mereka untuk mencapai kepuasan yang lebih tinggi. Maka, dengan karakter dan tingkat kepuasan yang ada, selalu bermunculan tokoh-tokoh asal Minangkabau di pentas nasional.
Di setiap kabinet, sejak era Soekarno hingga saat ini, bisa dibilang selalu ada orang Minangkabau di dalamnya. Tokoh-tokoh di bidang pendidikan, sastra, akademik, budaya, agama, iptek, politik, kewanitaan, kesehatan, jurnalistik dan lainnya terus bermunculan. Bahkan dengan adanya internet dan media sosial, nama mereka semakin dikenal luas. Sayangnya, belum ada sumber resmi yang mempublikasikan siapa saja yang disebut atau masuk kategori tokoh nasional. Yang baru ada adalah klaim sepihak tentang mereka yang bisa disebut sebagai tokoh nasional.
Warga asal Minangkabau maupun yang besar di rantau juga terbukti selama ini bisa hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya di rantau. Belum pernah ada setahu saya muncul konflik atau masalah antara warga asal Minangkabau dengan masyarakat etnis lainnya. Ini karena orang Minangkabau adalah orang yang rasional, toleran dan demokratis.
Maka, dengan tersebarnya warga asal Minangkabau di berbagai daerah dan mampu hidup rukun tidak perlu lagi dipertanyakan loyalitasnya kepada NKRI, Pancasila dan kebhinekaan. Karena apa yang sudah dilakukan sudah menunjukkan kecintaan kepada NKRI, mengamalkan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Beragam suku bangsa, bahasa dan budaya adalah kekayaan bangsa Indonesia. Adanya Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Otonomi Khusus Papua, yang memiliki keistimewaan dan kekhususan, tidak menjadikan semua daerah ingin seperti ketiga provinsi tersebut. Karena yang terpenting adalah saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Mempersoalkan perbedaan tidak ada habisnya dan berpotensi memunculkan konflik, termasuk konflik bernuansa SARA.
Selain itu, nasionalisme dan rasa kebangsaan orang Minangkabau juga tidak perlu ditanyakan. Meskipun penduduk Sumbar hanya 2 persen, tetapi jumlah pahlawan nasional sebesar 7 persen. Sedangkan daerah lain tidak sebanyak itu.
Salah satu bukti yang memperkuat bahwa orang Minangkabau itu nasionalis adalah Megawati Soekarnoputri yang menurut Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Hendra J. Kede memiliki darah keturunan Minangkabau dari garis ibunya. Hal ini juga dinyatakan Megawati dalam webinar Bung Hatta Inspirasi Kemandirian Bangsa bahwa dalam dirinya mengalir darah Minangkabau.
Tak ada yang meragukan nasionalisme Megawati, seperti halnya tidak ada yang meragukan bahwa Fatmawati, ibunya Megawati, berasal dari pasangan Siti Khadijah dan Hasan Din yang berasal dari Indrapura Kab. Pesisir Selatan Provinsi Sumbar yang kemudian merantau ke Bengkulu, tempat Fatmawati lahir.***
*) Gubernur Sumbar 2010-2021
Sumber: Harian Padang Ekspres 19 Agustus 2021