Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kondisi Papua memprihatinkan. Teroris KKB telah menyerang dan membakar berbagai fasilitas seperti pos TNI, Puskesmas, pabrik, sekolah, rumah penduduk, dan lainnya.
Tercatat 13 prajurit gugur, sementara klaim kelompok separatis 17 TNI ditembak dan terakhir dua personal lagi. Teroris KKB seperti di atas angin untuk melakukan teror, perusakan dan pembunuhan. Teroris KKB Papua ini sesungguhnya telah memenuhi kualifikasi sebagai pemberontak, teroris, maupun kelompok separatis.
Perlawanan dan penindakan negara pada kelompok pemberontak, teroris, dan separatis ini ternyata lunak alias lembek. Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman diolok-olok publik karena menganggap para pemberontak bersenjata itu adalah saudara yang harus dirangkul. Seperti tidak peduli dengan korban yang berjatuhan baik dari warga maupun prajurit.
Sikap lembek Dudung berbanding terbalik dengan marah dan kerasnya terhadap tokoh Islam. Sekadar baliho saja diobrak-abrik seperti melawan musuh yang berbahaya. Terkesan ada dendam politik yang menjadi motif Islamofobia. Ungkapan dan pandangan keagamaannya pun aneh untuk tidak disebut dangkal.
Jenderal Dudung meski KSAD atau sebelumnya Pangkostrad lebih menampilkan diri sebagai sosok politisi ketimbang prajurit. Soal persaudaraan dan rangkulan terhadap teroris KKB Papua adalah kompetensi pemangku kewenangan politik. Prajurit itu seharusnya bertempur, apalagi mereka adalah pemberontak, teroris dan separatis. Musuh negara.
Prajurit bersumpah di samping setia kepada NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 juga tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan. Bagian dari Sapta Marga adalah menjadi ksatria yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Mengutamakan keperwiraan dalam melaksanakan tugas serta siap sedia berbakti pada negara dan bangsa.
Prajurit jika berhadapan dengan musuh, pilihannya hanya dua: “kill or to be killed”. Jati diri prajurit TNI itu adalah pejuang dan profesional. Bukan ber-akting di luar profesinya mencari perhatian merambah ke sana ke sini. Masalah keyakinan (agama) diumbar dan disabotnya. Ngaco pula.
Berhadapan dengan pemberontak, teroris dan separatis jiwa prajurit harus “mendidih darah” untuk memerangi dan bertempur secara ksatria. KSAD mendorong dan menjaga spirit tempur jajaran di bawahnya. Seperti macan yang siap memangsa. Hanya keputusan politik yang dapat mengerem.Janganlah komandan tempur bersikap seperti politisi. Mengendalikan dan mengendurkan semangat tempur prajurit. Berdiplomasi belat belit.
Dudung Abdurachman sebagai komandan dibaca mengalami “split personality” antara prajurit dan aktivis politik. Bahkan seperti petugas partai. Sebanyak 13 prajurit ditembak, Mayor Jenderal di antaranya, tapi Jenderal Dudung masih menganggap pembunuh itu sebagai saudara yang harus dirangkul.
Memang cerita bapak Dudung selalu berkesinambungan. Mungkin profil politisi lebih cocok baginya ketimbang sebagai prajurit yang mendahulukan sikap ksatria siap tempur. Diam tetapi mematikan. Bukan ribut banyak omong yang hanya membuat gaduh.
Sangat tegas dan berani ketika melawan Baliho tapi takut melawan Egianus Kogoya, Elkius Kobak dan konco-konco.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan