Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Setiap akhir tahun saat umat Kristiani akan memasuki perayaan Natal selalu saja ribut soal umat Islam dan boleh atau tidaknya mengucapkan selamat Natal.
Buzzer dan pendukung “toleransi” bukan saja menyerang fatwa haram mengucapkan selamat Natal, tetapi juga habis-habisan menganjurkan untuk mengucapkan. Kemenag Sulsel dengan demonstratifnya membuat spanduk ucapan Natal.
Sekelompok “begal” agama berpakaian kearab-araban hanya karena MUI mengharamkan ucapan Natal, menuntut pembubaran MUI. Abu Janda lebih gila. Dia membuat sayembara 50 juta bagi dalil larangan mengucapkan selamat Natal. Ketika ada netizen yang mengemukakan dalil itu, maka dia balas dengan kalimat cocokologi dan acungan jari tengah. Parah.
Memang, terasa semakin karut marut hubungan “beragama” di negeri ini. Isu radikalisme dan intoleransi yang dituduhkan kepada umat Islam membuat umat semakin terpojok. Program deradikalisasi dan moderasi dicanangkan untuk mengacak-acak pemaknaan agama. Mendekati sekularisasi dan liberalisasi.
Ketika intens dilakukan pemaksaan pemahaman dalam sikap keagamaan termasuk “keharusan” mengucapkan selamat Natal, maka wajar jika orang bertanya apa bedanya kita dengan rezim Cina ketika melakukan program re-edukasi yang pada hakikatnya adalah cuci otak dan mengacak-acak makna agama?
Toleransi itu bukan harus memasuki ruang orang lain. Ketika dipahami bahwa Islam melarang memasuki rumah umat Kristen dengan tidak mengucapkan selamat Natal selesai sebenarnya. Keyakinan masing masing yang harus dipahami dan dihormati.
Kita yakin umat Kristiani tidak merasa perlu dengan ucapan selamat dari umat Islam ketika tahu ajaran Islam melarangnya. Demikian pula umat Islam tidak butuh ucapan selamat dari umat lain saat Idul Fitri atau perayaan lainnya. Masing-masing saja. Yang penting tidak saling mengganggu.
Benar sekali yang diungkapkan tokoh dan aktivis kritis Papua Christ Wamea bahwa yang dirinya Kristen saja tidak menuntut ucapan Natal dari umat Islam, lalu mengapa harus diributkan soal boleh tidaknya mengucapkan Natal?
Christ secara khusus menyindir kwartet nyinyir yang mengaku Muslim: Eko Kunthadi, Ade Armando, Denny Siregar dan Abu Janda.
“Kita yang nasrani saja tidak persoalkan umat agama lain mau ucapkan selamat natal apa tidak, itu tidak perlu dipaksa. Provokator berbaju toleransi dan Pancasila,” ucapnya.
Kwartet suara berisik yang selalu mencuit-cuit. Merasa modern berada di ruang digital, padahal yang terdengar itu suara radio atau transistor butut. Suara Islamofobia.
Bukankah Amerika saja kini sudah meloloskan RUU anti Islamofobia, Bung?
Ah loe loe pada ketinggalan zaman.
*) Pemerhati Politik dan Keumatan