Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) itu wadahnya jelas ada karena aturan Konstitusi, tetapi personalnya jika menggunakan bahasa halus, patut untuk ditinjau kembali atau “to the point”-nya dibubarkan. Sulit untuk dipercaya jika harus diganti dengan komposisi baru sekalipun.
Sejak mengadili kasus Pilpres 2019, pekerjaan MK dinilai tidak memuaskan. Statemen Ketua MK, Anwar Usman, yang hanya takut kepada Allah patut dibaca takut pada kekuasaan. Presiden sebagai Capres saat itu tidak berhenti dari jabatan. Kekuasaan tetap dikendalikan.
Putusan MK soal dana pandemi atas Judicial Review (JR) Pasal 27 UU No 2 tahun 2020 bukan membatalkan, tetapi memberi ruang waktu hingga akhir tahun ke 2 sejak diundangkan. Jika bertentangan dengan UUD 1945 ya semestinya dibatalkan. Frasa “itikad baik sesuai peraturan perundang-undangan” itu bias atau sangat interpretatif.
Demikian juga dengan putusan soal omnibus law UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK memberi waktu perbaikan 2 tahun atas aturan yang dinyatakan inkonstitusional. Lucu juga, aturan inkonstitusional kok nunggu 2 tahun untuk batalnya. Diminta perbaikan pula.
MK sebenarnya melihat aturan-aturan itu salah dan bertentangan dengan Konstitusi. Tetapi ada nuansa “kebaikan hati” untuk menolong Pemerintah. Di sinilah publik menilai bahwa MK itu bermain.
Sukses MK menjadi mitra kekuasaan menyebabkan ada balas “kebaikan hati” Pemerintah bersama DPR yang menetapkan UU No 7 tahun 2020—yang memperpanjang masa jabatan Hakim MK dari 5 tahun hingga 15 tahun. Lalu usia pensiun pun diubah menjadi 70 tahun. Adakah untuk kepentingan Pemilu khususnya Pilpres 2024? Terlalu.
MK itu bagian dari rezim yang dibuktikan dengan penolakan gugatan JR tentang Presidential Threshold (PT) 20%. Bukan satu dua gugatan yang ditolak. Belasan gugatan tidak dikabulkan. Dan hingga kini gugatan demi gugatan masih terus dilakukan, meski MK tetap ngotot untuk memproteksi. PT 20% adalah politik licik rezim yang nyata-nyata anti demokrasi.
UU kepentingan rezim sulit digoyahkan. UU IKN pun kini digugat. Namun sudah dapat diduga, MK yang diketuai Anwar Usman ini akan menolak gugatan itu pula. Dengan berbagai alasan tentunya.
Publik khawatir akan semakin kuatnya cengkeraman kekuasaan atas MK. Apalagi kini Ketua MK Anwar Usman telah resmi menjadi adik ipar dari Presiden. Anwar berkilah akan tetap profesional, tapi siapa percaya?
Dulu saat teriak hanya takut kepada Allah saja, aroma kecurangan juga sangat terasa. Padahal waktu itu Anwar membawa QS An-Nisaa’ dan Al-Maaidah segala.
Soal kawin dengan Idayanti adik Jokowi, publik harus dibuat percaya bahwa awalnya ia, Anwar Usman, katanya tidak tahu bahwa istrinya itu adalah adik Jokowi. Enam bulan lho dari kenal hingga melamar. Ada ada saja. Tapi sudahlah, hanya setelah tahu, secara etika Anwar Usman semestinya mundur dari jabatan Hakim MK. Sebab, dipastikan ada konflik kepentingan di sana.
Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti berteriak keras: jika MK dimasuki kepentingan ekonomi dalam urusan PT 20%, maka MK layak dibubarkan!
Nah, memang MK layak dibubarkan. Rakyat semakin sulit untuk mempercayai independensinya. Apalagi jika harus “mengadili” Presiden berdasar UUD 1945 Pasal 7A.
Jangan-jangan rakyat akan berseloroh untuk memelesetkan Hakim MK dari Hakim Mahkamah Konstitusi manjadi Hakim Memelintir Konstitusi. Demi kepentingan rezim hingga habis masa jabatan 5 tahun eh 15 tahun dan pensiun 70 tahun.
Luar biasa kejahatan politik melalui hukum di negeri “wakanda”!
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan