Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Beredar di medsos video ceramah Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, tahun 2019, yang menguraikan tentang era kebohongan saat ini atau yang dikenal dengan post-truth (pasca kebenaran).
Era pasca kebenaran yang digambarkan bahwa kebenaran emosional (emotional truth) lebih dominan ketimbang kebenaran objektif (objective truth). Kebohongan yang memang sengaja dibuat.
Ceramah yang nampaknya dimaksudkan untuk memproteksi Joko Widodo dari serangan kebohongan itu ternyata digunakan oleh pendukung Jokowi untuk memainkan jurus kebohongan agar memperoleh kemenangan.
Joko Widodo pun menjadi Presiden dengan segala dinamika atau kontroversinya. Prabowo pesaing politiknya terpaksa harus bertekuk lutut dan rela menjadi pembantu.
Muhtadi membandingkan dengan kemenangan Pemilu Meksiko, Brazil dan Amerika Serikat. Donald Trump sukses memainkan strategi kebohongan. Termasuk kebohongan dalam bentuk menakut-nakuti, mulai ancaman Cina hingga terorisme dan radikalisme Islam. Semburan fitnah adalah bagian dari warna post-truth.
Waktu itu tudingan diarahkan kepada lawan politik Jokowi. Saat kubu Islam menjadi sasaran. Pengamat intelijen Dr Susaningtiyas Kertopati menyatakan di Indonesia post-truth berkelindan dengan sentimen agama dan etnis yang berekses pada kekerasan dan mengancam stabilitas keamanan.
Setelah Jokowi berkuasa, maka karakter era post-truth bergerak dinamis. Kebohongan demi kebohongan pun dilakukan, baik dengan ungkapan atau janji-janji palsu maupun membuat hantu-hantu yang mengancam.
Tiga kebohongan besar yang sengaja dihembuskan untuk memperkokoh kekuasaan, yaitu:
Pertama, di tengah utang luar negeri tahun 2016 sebesar 4.232 triliun, Jokowi masih percaya diri menyampaikan dalam pidato sosialisasi tax amnesty di Makassar bahwa di kantongnya tersimpan data atas dana luar negeri sebesar 11.000 triliun rupiah. Kondisi keuangan yang sangat aman.
Kedua, pandemi covid-19 digunakan sebagai hantu untuk membangun otoritarianisme, menghambat kebebasan publik, serta memunculkan kebijakan untuk mengeruk bebas dana APBN tanpa pertanggungjawaban. Pandemi mengisi ruang narasi era post-truth.
Ketiga, umat Islam dituduh dekat dengan terorisme, radikalisme dan intoleransi. Hantu yang berbahaya. Antisipasi berupa moderasi beragama dicanangkan dan diprogram di mana-mana, termasuk di Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama. Moderasi beragama adalah teror psikologis kepada umat Islam atas modus ancaman hantu-hantu itu.
Burhanuddin Muhtadi mengungkapkan serangan kebohongan itu datangnya dari masyarakat terhadap pemegang kekuasaan. Akan tetapi faktanya dan sangat terasa kebohongan di era post-truth itu dominan dilakukan oleh penguasa kepada masyarakat atau komunitas umat.
Ceramah Muhtadi sesungguhnya menjadi boomerang atau mungkin memang pas untuk mengeksplanasi karakter kekuasaan di era post-truth saat ini, yaitu: Rezim tukang bohong.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan