Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Ada fenomena baru dimana berbagai elemen masyarakat menyampaikan aspirasinya kepada Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI). Ketua DPD kerap menerima delegasi tersebut.
Fenomena ini menandai kurangnya kepercayaan pada “kamar” lain yakni DPR RI. Introspeksi atas bacaan publik bahwa institusi Parlemen yang berisi orang-orang partai politik sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Menyiapkan untuk Pemilu, baik legislatif maupun Pilpres. Rakyat relatif terabaikan.
Persoalannya, DPD, di samping jumlah anggotanya kalah jauh dari DPR RI juga lebih dominan sebagai organ MPR RI. Jadi keseharian “wakil rakyat” adalah anggota DPR. Hanya itulah karena sistem fraksional menyebabkan anggota DPR terkungkung oleh kebijakan fraksi atau partai secara institusional, sehingga peran anggota menjadi terbatas, baik untuk berbicara, bersikap maupun bermanuver dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
DPD RI di bawah kepemimpinan La Nyalla Mattalitti nampaknya lebih “bernyala” dan dinilai cukup solid. Perjuangan menegakkan demokrasi dengan menggugat Presidential Threshold 20% adalah satu contoh. Begitu juga soal pengkritisan atas kedaulatan oligarki ekonomi dan upaya mendorong terbitnya UU Anti Islamofobia adalah concern bersama anggota DPD yang patut diapresiasi.
DPD adalah benteng demokrasi. Sekurangnya untuk saat ini. Perwakilan Daerah praktiknya bukan hanya perwakilan “daerah”, tetapi perwakilan “orang-orang daerah”. Artinya, siapa pun dapat menyampaikan aspirasi dan memohon agar aspirasinya diperjuangkan oleh anggota DPD.
UU 17 tahun 2014 mengatur juga kewenangan DPD, antara lain mengajukan RUU Otda, hubungan Pusat dan Daerah, pembentukan, pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE lain yang berhubungan dengan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Ikut pembahasan RUU di atas. Memberi pertimbangan RUU APBN, RUU pajak, pendidikan dan agama. Termasuk mengawasi pelaksanaan UU APBN, pajak, pendidikan dan agama tersebut.
Ketika Pemerintah cenderung menaikkan berbagai pajak yang dinilai semakin membebani rakyat, mengarahkan pendidikan menjauh dari nilai-nilai moral bangsa, serta agama yang tidak diposisikan penting, maka DPD menjadi strategis untuk berada di front depan perjuangan kerakyatan dan keumatan. Sekaligus sebagai benteng dari pemulihan kedaulatan rakyat yang semakin tergerus oleh keserakahan penguasa oligarki.
Pintu masuk DPD sebagai benteng demokrasi adalah bahwa anggota DPD dipilih langsung dalam Pemilu. Konsekuensinya adalah bahwa anggota DPD wajib memperjuangkan aspirasi rakyat pemilihnya. Hakikatnya seluruh rakyat pemilih dapat mempercayakan aspirasinya untuk diperjuangkan oleh anggota DPD.
Hubungan anggota DPD dengan rakyat harus tetap erat, bukan hanya dekat dengan kelembagaan Pemerintah Daerah. DPD saat ini memang dirasakan menjadi benteng dari demokrasi. Ketika rakyat merasa tergerus bahkan kehilangan kedaulatannya.
Partai politik yang semestinya menjadi bagian dari “kekuatan rakyat” disayangkan dalam praktiknya justru berfungsi sebagai organ supra struktur politik. Kembali menjadi infra struktur politik hanya menjelang Pemilu. Saat akan memanfaatkan dan mengemis untuk mendapatkan suara rakyat.
Sebagai pilihan sistem bikameral semestinya jumlah anggota DPD relatif berimbang dengan DPR. Bukan seperti sekarang yang jomplang. Perlu perubahan jumlah keterwakilan daerah ke arah yang lebih proporsional. Setiap Provinsi berbeda dalam jumlah keanggotaan DPD. Ditentukan berdasarkan jumlah penduduk atau indikator lain dari perbedaan Provinsi.
Ketika demokrasi tengah dihancurkan oleh kejahatan oligarki, maka DPD dituntut dan harus memperkuat fungsi sebagai benteng dari demokrasi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan