Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Gerakan umat untuk menolong sesama telah dibantai oleh pemerintah untuk menolong kelompok anti Islam. Aksi Cepat Tanggap (ACT) dianiaya oleh ‘Aksi Cepat Tumpas (ACT)’. Soal gaji yang dengan cepat berubah menjadi terorisme adalah alasan khas rezim Islamofobia.
Bahwa terjadi penyimpangan oleh oknum personal pimpinan memang harus diusut dan diselesaikan. Tetapi tidak dapat diterima jika cara penanganan dilakukan secara berlebihan, diskriminatif dan tendensius. Patut diduga ada motif politik untuk menghancurkan lembaga filantropis keumatan.
Penilaian gampangan bahwa tindakan yang diambil oleh penguasa adalah melanggar etika dan hukum. Melanggar etika karena sebagaimana dikemukakan oleh banyak pihak bahwa memburu satu tikus di lumbung ternyata dilakukan dengan cara membakar habis lumbung.
Dua kemungkinan untuk ini, yaitu kebodohan luar biasa atau memang sejak semula niatnya bukan akan memburu tikus, tetapi membakar lumbung. Bertepatan ada tikus masuk jebakan yang dipasang di lumbung.
Melanggar hukum karena perbuatan yang dilakukan itu sewenang-wenang. Cara kerja hukum adalah pembuktian melalui proses peradilan. Bagaimana suatu perbuatan dinyatakan salah tanpa proses penetapan dari lembaga yang berhak untuk menetapkan, yakni pengadilan? Tidak bisa main cabut izin tanpa perintah hukum atau sekurang-kurangnya melalui pemeriksaan yang seksama.
Publik terpaksa menonton perilaku otoritarian dan sok kuasa. Publik dapat memahami jika mungkin terjadi kesalahan manajemen, termasuk pola penggajian. Meskipun yang terakhir ini relatif sekali jika dibandingkan dengan gaji anggota DPR, pengelola BPJS atau Komisaris BUMN yang cuma titip nama tanpa kerja atau kompetensi. Kesalahan manajemen dapat dikoreksi dan dibenahi.
Pola ‘Aksi Cepat Tumpas (ACT)’ dapat dianalogikan kerja PKI dahulu. Saat dengan cepat menumpas Masyumi melalui bisikan maut kepada Presiden Soekarno. PKI adalah musuh Masyumi. Komunis yang anti agama itu. Ini menambah catatan hitam dari rezim Islamofobia.
Rangkaiannya dimulai dari pembubaran tanpa proses peradilan organisasi HTI dan FPI, penahanan HRS dan Munarman, pembunuhan 6 anggota Laskar FPI, penangkapan Farid Okbah, Zain An Najah dan Anung Al Hamat, serta kini pencabutan izin ACT beserta pemblokiran rekeningnya. Pelibatan BNPT dan Densus 88 menjadi bagian dari politik stigmatisasi umat. ACT distigma berbahaya.
Dua titel yang bisa disematkan untuk rezim ini adalah Islamofobis dan Oligarkis. Oligarki yang Islamofobia. Segelintir orang yang memiliki kekuatan politik dan bisnis telah menguasai negeri. Menggerus bahkan merenggut kedaulatan rakyat. Mengendalikan dengan kekuatan alat pemaksa tanpa peduli pada rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
Aksi-aksi cepat tanggap rakyat sebagai wujud kepekaan pada penderitaan sesama terpaksa harus berhadapan dengan ‘aksi cepat tumpas’ penguasa.
ACT versus ‘ACT’.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan