Catatan Hani Al-Masri*
Kebangkitan kelompok perjuangan baru yang menggabungkan perjuangan bersenjata dengan kebangkitan rakyat Palestina ini, memunculkan strategi baru yang lebih berhasil dari sebelumnya.
SALAM-ONLINE.COM: Tahun lalu, penggusuran kawasan Sheikh Jarrah di Al-Quds (Yerusalem) memicu perlawanan yang menyebar ke seluruh Tepi Barat dan Palestina yang terjajah. Perlawanan itu berujung pada pembantaian Zionis penjajah, Mei 2021, di Gaza, yang dikenal oleh rakyat Palestina sebagai operasi perlawanan “Pedang Al-Quds”.
Intifadhah Persatuan diikuti oleh pembebasan enam tahanan melalui operasi “terowongan kebebasan”; lalu pelaksanaan serangkaian operasi perlawanan bersenjata di Tepi Barat dan wilayah 1948 (yang sebelumnya milik Palestina); dan peluncuran operasi “Breaking the Waves” oleh Zionis baru-baru ini untuk menghentikan kebangkitan perlawanan rakyat yang telah datang secara bergelombang sejak tahun 2004.
Otoritas Palestina (PA) di bawah arahan Presiden Mahmoud Abbas tidak menyetujui perjuangan dalam segala bentuknya. Dia lebih memilih untuk mendukung gerakan simbolis dan politik saja. Perlawanan ini juga disebabkan oleh pembatalan pemilu oleh PA, yang diperkirakan akan mengalami kekalahan memalukan, dengan dalih penolakan Zionis atas hak suara warga Palestina di Yerusalem.
Hal ini dipicu setelah kampanye represi oleh PA sendiri, termasuk pembunuhan aktivis politik Nizar Banat saat penangkapannya oleh pihak PA. Selama periode ini, Amerika Serikat memberikan janji yang tidak jelas kepada Otoritas Palestina. Termasuk dukungan AS untuk “rencana perdamaian ekonomi” dan koordinasi keamanan, tanpa hasil politik apa pun, mereka hanya berharap dapat mempertahankan status quo.
Awal Pembentukan
Momen bersejarah ini memberi jalan untuk pembentukan Brigade Jenin dan kelompok “Sarang Singa” (Lion’s Den) yang sekarang menjadi populer hanya dalam beberapa bulan saja. Pembentukan kelompok perlawanan ini mewakili pergeseran dari gelombang intifadhah sebelumnya. Terutama bagi mereka yang mengandalkan perjuangan bersenjata.
Kelompok ini menyerukan konfrontasi langsung terhadap pasukan penjajah dan pemukim Zionis bersenjata. Seruan mereka kerap mendapat sambutan.
Ketika faksi-faksi politik utama tengah terlibat dalam negosiasi rekonsiliasi di Aljazair tanpa mencapai solusi, Kelompok Sarang Singa menyerukan pemogokan umum selama satu hari di Tepi Barat. Meski tidak mendapat dukungan dari kelompok-kelompok tradisional, tetapi seruan itu dilaksanakan secara luas.
Apa yang membedakan perlawanan saat ini dari sebelumnya, adalah bersatunya kelompok perjuangan bersenjata dengan bentuk perlawanan populer lainnya. Tidak seperti dalam “intifadhah pisau”, yang hanya dilakukan oleh bebrapa individu, perlawanan kali ini dipimpin oleh sekelompok orang di seluruh Tepi Barat.
Perlawanan dimulai di kota utara Jenin. Kemudian menyebar ke Nablus, Al-Quds, dan pada tingkat yang lebih rendah di Ramallah dan Hebron.
Dalam pernyataan publik mereka, kelompok-kelompok perjuangan ini telah menyatakan bahwa mereka tidak mewakili faksi mana pun. Mereka juga menolak untuk membungkus tubuh para syuhada mereka dengan spanduk kelompok-kelompok terkemuka.
Namun mereka mendapat dukungan dari kelompok-kelompok kuat seperti Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Bahkan mendapat pembiayaan (dana) dari Hamas dan Jihad Islam.
Anggota dari berbagai kelompok perjuangan Palestina telah ikut beroperasi di dalam brigade baru ini. Termasuk individu-individu dari kelompok Fatah yang menolak pendekatan PA.
Namun, kelompok di Jenin dan Nablus sangat berhati-hati untuk tidak langsung menghadapi (membuka front ke PA), karena mereka percaya senapan (senjata) harus tetap diarahkan ke para penjajah. Karena mereka mewakili persatuan umat yang terus tumbuh dan saling berkoordinasi.
Perjuangan yang Berkesinambungan
Fenomena strategi perlawanan baru ini terbukti lebih berhasil dan memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan terus berlanjut karena sejumlah alasan.
Pertama, agresi Zionis (penjajah) terus meningkat dengan intensitas dan eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk proses Yudaisasi, perluasan permukiman, pembongkaran rumah, penangkapan, diskriminasi rasial dan apartheid, serta pengepungan Jalur Gaza yang terus berlangsung.
Lebih dari 165 warga Palestina telah gugur sejak awal tahun, 114 di antaranya berasal dari Tepi Barat. Sisanya dari Gaza.
Kedua, PA lebih lemah dari sebelumnya. Partai-partai tradisional tidak mampu memberikan solusi alternatif. Erosi institusi PA telah menciptakan kekosongan politik. Maka, kelompok perjuangan baru berusaha mengisi kekosongan ini.
Tiga dekade dari apa yang disebut “Proses Perdamaian” yang terhenti dan janji-janji kosong dari Kesepakatan Oslo telah memungkinkan penjajah untuk menciptakan kekosongan politik di Tepi Barat dan Gaza, meningkatkan perpecahan internal, dan menguntungkan kelompok-kelompok yang tidak tertarik untuk melawan penjajah atau untuk mencapai persatuan.
Saatnya Intifadhah Habis-habisan?
Apakah gerakan perlawanan baru akan berubah menjadi intifadhah penuh, ini masih harus terus ditunggu. Namun perlawanan bersifat sporadis—yang meletus dan menyebar di berbagai lokasi dengan sektor sosial berbeda-beda ikut berpartisipasi—dan adanya berbagai agenda politik yang juga berbeda-beda, maka bahwa hal ini akan menyebar luas masih kecil kemungkinannya, kecuali ada upaya regional dan internasional yang terkoordinasi untuk membantu membuat perlawanan yang komprehensif.
Sejak tahun 2004, Intifadhah terus mengalir, dengan pasang dan surutnya, kondisi yang dibutuhkan untuk perlawanan habis-habisan saat ini jauh lebih sulit untuk dicapai.
Sejak wafatnya Yasser Arafat pada tahun 2004, dan Syahidnya Syeikh Ahmad Yassin dan Dr Abdul Aziz Ar-Rantisi, kondisi yang diperlukan untuk perlawanan yang komprehensif belum tersedia, baik secara tujuan yang sama ataupun program-program yang terpusat.
Strategi perlawanan setiap kelompok, sebagian besarnya bersifat lokal, spontan, dan defensif dalam banyak kasus. Operasi mereka di latar belakangi oleh penjahanan dan ketidakseimbangan kekuatan yang ditimbulkan olehnya, dan masih terbatas pada upaya menolak serangan dan serbuan, pembunuhan dan penangkapan, yang semakin sulit ketika operasi menyebar ke wilayah yang lebih luas.
Fenomena perlawanan sebelumnya tidak memiliki ideologi yang satu ataupun struktur politik dan organisasi yang diterima secara umum, dan sebagian besar didominasi oleh pemimpin lokal, menggunakan organisasi yang terdesentralisasi dan saling ketergantungan kepada media sosial, cenderung menciptakan simbol-simbol, para pahlawan, dan kepemimpinannya sendiri.
Banyak dari simbol-simbol ini adalah para syuhada seperti Fathi Khazem, Raad dan Abdelrahman. Kelompok Sarang Singa telah menyatakan dirinya sebagai “generasi pengorbanan”, siap mati dan berjuang untuk rakyat dan agama mereka.
Ketika pasukan penjajah menyerbu Kota Tua Nablus misalnya, mereka bukannya tidak melawan dan lari. Sebaliknya, mereka bertempur sampai mati syahid, menunjukkan kesadaran mereka bahwa mereka tidak mengharapkan kemenangan yang cepat dan menentukan.
Besar dalam Tahapannya
Sarang Singa dan Brigade Jenin wujud tanpa adanya payung persatuan yang komprehensif. Ada pihak yang menganggap bahwa fenomena mereka ini telah mati pada saat kemunculannya karena kecepatan militerisasinya dan ketidak-seimbangan kekuatannya.
Kelompok ini dengan cepat bergerak melalui tahap-tahap pembentukannya, dan menjadi dikenal sebelum menyediakan struktur organisasi politik, publik, kepemimpinan, yang mampu melindungi dan memastikan kelangsungannya.
Ada pihak yang khawatir hal itu bisa menyeret perlawanan di Gaza ke medan pertempuran sebelum waktunya. Ada juga yang memperingatkan akan pengaruh Salafisme (Jihadis) dan kecenderungannya pada ekstremisme, sambil mengakui bahwa tangan anggotanya tetap bersih.
Mereka tidak ada hubungannya dengan perselisihan internal atau regional yang ada, dan tidak mengarahkan senjata mereka ke komunitas mereka sendiri. Peluru diarahkan hanya terhadap pasukan penjajahan.
Walaupun kelompok-kelompok baru ini mungkin belum dapat mencapai kemenangan yang menentukan, tetapi upaya mereka tetap signifikan dalam menjaga perjuangan Palestina agar tetap hidup dan terus menantang penjajahan Zionis.
Orang-orang Palestina bersatu dalam perlawanan mereka, dan mereka tidak menyerah atau tunduk kepada musuh. Tetapi mereka harus mengakhiri perpecahan di antara mereka, memulihkan persatuan dan menghidupkan kembali perjuangan yang sebenarnya.
Mereka juga harus bersatu dalam semua tingkatan dan di semua sektor, menggabungkan antara strategi dan kepemimpinan yang terpadu, mengambil keputusan yang tepat dan menyediakan kemampuan politik yang diperlukan untuk menghadapi tantangan perjuangan ke depan sehingga Bumi Islam Palestina akan segera bebas dari penjajahan Zionis.
*) Hani Al-Masri adalah direktur jenderal Masarat, Pusat Penelitian Kebijakan dan Studi Strategis Palestina. Dia mendirikan dan menjadi direktur jenderal Pusat Media, Penelitian dan Studi Palestina, Badael, antara tahun 2005 dan 2011. Dia telah menerbitkan ratusan artikel, makalah penelitian dan kebijakan di majalah dan surat kabar Palestina dan Arab, termasuk Al-Ayyam dan Al-Safir. Al-Masri sebelumnya menjabat sebagai manajer umum departemen publikasi di Kementerian Penerangan dan sebagai anggota Komisi Dialog yang diadakan di Kairo pada tahun 2009. Dia juga adalah anggota dewan pengawas di Yasser Arafat Foundation.
Ahmad Ghifari
Sumber: Middle East Eye