Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Isu reshuffle muncul kembali. Semakin kencang setelah salah satu partai koalisi Pemerintah Partai Nasdem mengajukan Anies Baswedan sebagai Calon Presiden. Anies tidak disukai bahkan cenderung dimusuhi oleh Istana.
Segera setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies, PDIP langsung menemui Jokowi. Konon minta agar Menteri yang berasal dari partai pimpinan Surya Paloh itu agar segera diganti.
Selama periode kedua, Jokowi sudah tiga kali melakukan reshuffle yaitu pada Desember 2020, April 2021 dan terakhir Juni 2022. Saat meresmikan pengembangan Stasiun Manggarai tahap 1 (26/12/2022) Jokowi ditanya oleh awak media soal reshuffle. Jawabannya singkat- singkat seperti “Ya dengar”, “Oke”, “Cluenya… ya udah”, “Mungkin” atau menggerakkan tangan. Ketika ditanya kapan? jawabannya “Ya nanti”. Adapula dengan angguk-angguk kepala.
Ada tiga Menteri Nasdem yang jadi gunjingan untuk diganti yaitu Menkominfo Johnny G Plate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya.
Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyatakan meski reshuffle adalah hak prerogatif Presiden namun pertimbangannya harus berdasar kebutuhan, bukan alasan politis atau lainnya.
Tiga dampak politik yang mungkin akan terjadi jika Jokowi melakukan reshuffle kabinet dengan mengganti Menteri yang berasal dari Partai Nasdem, baik seluruh maupun sebagian, yaitu:
Pertama, hak prerogatif Presiden itu menjadi slogan semata sebab faktanya penggantian Menteri berdasarkan keputusan tekanan politik. Adalah PDIP yang gencar menekankan soal reshuffle. Terakhir Ketua DPP PDIP Djarot Saeful Hidayat yang meminta agar Presiden Joko Widodo mengevaluasi dua Menteri asal Nasdem.
Kedua, jika terjadi reshuffle maka suasana politik akan memanas. Nasdem yang merupakan partai koalisi Pemerintah berubah menjadi kekuatan oposisi. Bahayanya, Partai Nasdem yang diduga banyak mengetahui hal ihwal Istana termasuk borok-borok di dalam akan melakukan manuver aksi bongkar-bongkar. Semangat restorasi menemukan momentum.
Ketiga, rakyat akan membaca dengan jelas kezaliman Jokowi kepada Anies Baswedan. Reshuffle yang disebabkan Partai Nasdem mendukung Anies adalah kebijakan naif, brutal dan bodoh. Berpolitik tidak elegan. Menjadi bukti atas kebohongan Istana yang katanya tidak ikut melakukan intervensi politik. Faktanya kewenangan partai politik digerus dan didikte oleh Istana.
Jika Jokowi tidak hati-hati dalam mengambil keputusan mengenai reshuffle khususnya terhadap partai koalisinya, maka guncangan politik akan terjadi. Tiga partai oposisi PKS, Partai Demokrat dan Partai Nasdem bukan sekadar menjadi kutub bagi dukungan Capres, tetapi lokomotif dari perlawanan rakyat terhadap rezim yang dinilai zalim, sewenang-wenang dan kriminal.
Ujungnya jangan harap Jokowi dapat mengakhiri jabatan dengan baik. Dua tahun ke depan adalah waktu yang krusial untuk membangun stabilitas politik.
Reshuffle Kabinet dapat menjadi pemantik dari sebuah gebrakan dan gerakan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan