Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Pemimpin diktator di negara yang memiliki Konstitusi senantiasa menggunakan hukum untuk mewujudkan perilaku otoriternya. Di Indonesia alat diktatorial itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Presiden Joko Widodo baru saja mengeluarkan Perppu No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai melawan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 91/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian UU Cipta Kerja. Putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat. Harus diperbaiki selama 2 (dua) tahun dengan melibatkan partisipasi publik yang optimal.
Pembunuhan MK dengan Perppu mungkin bagi Jokowi dan Menko Mahfud MD dianggap sebagai inovasi hukum. Akan tetapi bagi masyarakat hal ini adalah sebuah penelikungan hukum dan pelanggaran Konstitusi. Banyak ahli hukum mengkritik perbuatan Jokowi yang nekat melawan Konstitusi.
Di tengah lemahnya posisi DPR, dominasi eksekutif semakin terasa. Yakin akan mudah mendapatkan stempel persetujuan DPR agar Perppu berubah menjadi UU. Kegentingan memaksa dijadikan alasan untuk mengeluarkan Perppu. Alasan yang sebenarnya tidak kuat dan cenderung dicari-cari mulai dari kondisi ekonomi, Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina.
Penafsiran subyektif mengenai “hal ihwal kegentingan yang memaksa” menyebabkan Perppu menjadi mainan yang menyenangkan bagi Presiden. Apalagi jika DPR sudah “di tangan”. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang tegas memberi definisi tentang “kegentingan yang memaksa” sebagai syarat untuk dapat dikeluarkannya Perppu.
Pendekatan akademik menjadi penting. AALF Van Dullemen dalam bukunya “Staatsnoodrecht en Democratie” menyatakan 4 syarat hukum tata negara darurat, yaitu:
Pertama, eksistensi negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan. Kedua, tindakan diperlukan karena tak dapat digantikan. Ketiga, tindakan bersifat sementara. Keempat, Parlemen tidak dapat melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh.
Perppu Jokowi No 2 tahun 2022 tidak memenuhi syarat sebagaimana pandangan Dullemen tersebut. Pertama, eksistensi negara tidak tergantung tindakan yang diambil Presiden. Kedua, masih ada tindakan lain, yaitu memperbaiki UU Cipta Kerja bersama DPR. Ketiga, Perppu dikondisikan permanen berkolaborasi dengan DPR. Keempat, kondisi kini DPR masih mampu menjalankan tugasnya sebagai badan legislatif.
Tetapi apapun itu, saat ini bagi Jokowi nampaknya yang penting adalah langkah “penyelamatan”. Menyelamatkan kebijakan pro kapitalis yang salah satunya adalah UU Omnibus Law, menyelamatkan kepentingan penjajah dengan mengambil kebijakan yang pro asing di sektor pertambangan, IKN dan infrastruktur. Menyelamatkan diri dan konco dari kemungkinan pembalasan rakyat atas kejahatan yang dikerjakan selama berkuasa.
Perppu sang diktator yang menginjak-injak Konstitusi tidak boleh lolos. Rakyat harus menolak penggunaan hukum untuk kepentingan politik, bisnis dan otoritarian. Jika lolos, maka hal ini akan menjadi legalisasi atas perilaku otoriter untuk tindakan yang lebih diktatorial ke depan.
Jika DPR gagal menghadang dan menolak Perppu No 2 tahun 2022, maka solusi publik yang dapat diupayakan adalah UU yang diproduk itu nanti diajukan saja Judicial Review kembali. Moga MK mengabulkan. MK harus konsisten mengembalikan kepada amanat perbaikan UU Cipta Kerja untuk menyelesaikan masa waktu 2 tahun dengan partisipasi publik. Waktu yang semakin pendek akan menghukum Jokowi.
UU Cipta Kerja yang semula inkonstitusional bersyarat segera berubah menjadi inkonstitusional permanen. UU Cipta Kerja menjadi batal dan tidak berlaku lagi. Perppu sang diktator pun ditengggelamkan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan